Tautan-tautan Akses

Buruh Perempuan Sepakat Menolak UU Cipta Kerja


Para buruh perempuan ikut dalam aksi protes untuk menolak Omnibus Law di Jakarta (Foto: AFP/Adek Berry)
Para buruh perempuan ikut dalam aksi protes untuk menolak Omnibus Law di Jakarta (Foto: AFP/Adek Berry)

Buruh perempuan di Indonesia mendominasi hampir 80 persen tenaga kerja sektor padat karya seperti pabrik. Berbanding terbalik dengan sektor padat modal, seperti perkantoran yang pekerjanya didominasi laki-laki. Namun, buruh perempuan di dua sektor ini diyakini akan menerima dampak buruk yang sama dari Undang-Undang Cipta Kerja.

Sumiyati dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) meyakini, buruh perempuan terdampak lebih buruk karena budaya yang melingkupi proses penyusunan undang-undang itu.

“Memang mayoritas perempuan mengalami dampak paling besar, karena kondisi budaya patriarki, sehingga mempengaruhi kebijakan yang diciptakan di Indonesia,” paparnya.

Para buruh perempuan di sebuah pabrik rokok di Yogyakarta. (Foto: VOA/ Nurhadi)
Para buruh perempuan di sebuah pabrik rokok di Yogyakarta. (Foto: VOA/ Nurhadi)

Kondisi itu tidak hanya terjadi sekarang dan di masa depan, tetapi sudah berlangsung sejak dulu. Lilis Mahmudah dari Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) menyebut, buruh perempuan selalu menjadi nomor dua di mana pun mereka bekerja dan rentan kekerasan, pelecehan seksual, perundungan, direndahkan, juga diremehkan.

Di sisi lain, banyak buruh perempuan menjadi pencari nafkah utama dalam keluarganya. Mereka mayoritas berstatus kontrak yang meski dibatasi waktu bekerjanya, pada praktiknya bisa berlangsung belasan bahkan lebih dari 20 tahun. Kondisi ini diyakini akan diperparah oleh penerapan UU Cipta Kerja, karena sistem kontrak semakin tidak jelas. Dampaknya sangat beragam, dan Lilis memberi contoh dalam kasus terkait proses melahirkan.

“Buruh kontrak kalau hamil, kalau ambil cuti melahirkan, dia akan di-off-kan dulu, di-off-kan bukan cuti, artinya berhenti dulu selama tiga bulan. Setelah tiga bulan bisa masuk kerja lagi, itu pun tergantung posisinya masih ada atau tidak, dan tergantung atasannya di bagian itu,” kata Lilis.

Dian Septi dari Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI). (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)
Dian Septi dari Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI). (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Dian Septi dari Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) menguatkan apa yang dikatakan Lilis. Dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003, ada banyak celah aturan dimanfaatkan pengusaha terkait hak reproduksi perempuan.

“Seperti haid. Hari pertama, hari kedua, kalau merasa sakit bisa beristirahat. Kata sakit ini diartikan oleh perusahaan harus memberikan surat sakit, sementara haid itu bukan sakit. Haid adalah fase reproduksi perempuan yang harus dihargai oleh perusahaan,” kata Dian.

Buruh Perempuan Sepakat Menolak UU Cipta Kerja
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:29 0:00

Seharusnya, UU Cipta Kerja memperkuat hak kesehatan reproduksi buruh perempuan yang selama tidak terpenuhi dalam UU lama. Namun ternyata, kata Dian, undang-undang baru ini juga tidak menjadi jawaban untuk persoalan itu.

Karena itulah, buruh perempuan sepakat menolak UU Cipta Kerja. Sikap itu disampaikan dalam pernyataan bersama Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja, Senin (19/10).

Kelemahan yang Merugikan Perempuan

Dari prosesnya, UU Cipta Kerja sudah melemahkan serikat buruh perempuan karena mereka tidak diikutsertakan dalam penyusunannya. Maria Emeninta dari Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indoesia (KSBSI) mengaku, serikat buruh sempat diajak berdialog oleh Kemeterian Tenaga Kerja. Mereka sempat mengajukan sembilan usulan yang dijanjikan akan diperjuangkan pemerintah.

Maria Emeninta dari Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indoesia (KSBSI). (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)
Maria Emeninta dari Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indoesia (KSBSI). (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

“Tetapi ketika disahkan 5 Oktober lalu, ternyata tidak satu pun usulan serikat pekerja yang diakomodir, ini yang menjadi keberatan besar-besaran dari serikat,” ujar Maria.

Selain itu, keterlibatan buruh difabel juga terbaikan selama proses penyusunan. Tidak mengherankan, jika istilah cacat masih dipakai dalam UU Cipta Kerja, padahal sudah disepakati untuk tidak digunakan lagi sejak 2011. Rina Prasarani dari Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia menyebut, banyak sisi UU ini tidak mengakomodir kepentingan kelompok difabel.

“UU ini tidak dijamin penyediaan fasilitas untuk penyandang disabilitas. Baik itu aksesibilitas fisik bangunan, informasi dan sebagainya, terutama di ruang publik. Sehingga teman-teman makin kesulitan mengakses pekerjaan, karena fasilitas yang mendukung mereka tidak tersedia,” kata Rina.

Aliansi ini juga menyatakan, pelecehan seksual, diskriminasi berbasiskan gender ekspresi, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan persoalan krusial yang dialami buruh perempuan. Namun, UU Cipta Kerja justru buta gender atau tidak mengakomodasi kepentingan perempuan.

Vivi Widyawati dari Perempuan Mahardika. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)
Vivi Widyawati dari Perempuan Mahardika. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Vivi Widyawati dari Perempuan Mahardika mencatat, UU ini tidak melindungi buruh perempuan yang mengalami KDRT. Ketika buruh perempuan tidak bisa bekerja karena KDRT atau harus ke kantor polisi untuk melaporkan kasusnya, perusahaan hanya melihat bahwa dia tidak bekerja.

“Inilah yang saya bilang UU Cipta Kerja ini dalam implementasinya sangat berpotensi memiskinkan dan meminggirkan perempuan dari akses pekerjaan,” kata Vivi.

Beban Pekerja Media, Kreatif dan Informal Data Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP) menyebut, pasal penyiaran dalam UU Cipta Kerja digembar-gemborkan mendorong investasi, membuka lapangan kerja, dan mempermudah birokrasi serta perizinan. Namun, jika dilihat isi pasalnya, yang terjadi justru malah memperkuat dominasi industri media raksasa dan penguatan otoritas pemerintah mengatur dunia penyiaran. Aliansi ini sepakat, dalam konteks media dan pekerja media, tidak ada urgensi mengatur media dalam UU Cipta kerja.

Seorang pekerja pabrik sepatu pulang kerja sepulang kerja, di kawasan industri Pasar Kemis di Tangerang, 13 Agustus 2014. (Foto: AP)
Seorang pekerja pabrik sepatu pulang kerja sepulang kerja, di kawasan industri Pasar Kemis di Tangerang, 13 Agustus 2014. (Foto: AP)

Menurut aliansi ini, melalui UU Cipta Kerja media penyiaran akan dikuasai pemerintah dan pengusaha. Indonesia akan kembali ke zaman Orde Baru, di mana eksploitasi tenaga kerja secara umum, dan khususnya tenaga kerja perempuan di media akan terjadi. Pengusaha media bisa memiliki banyak kanal, sementara pekerja harus bekerja di berbagai kanal tersebut.

“Satu pengusaha bisa punya banyak kanal media digital, dan satu pekerja bisa mengerjakan banyak kanal itu,” kata Luviana dari Konde.co

Di sektor media juga banyak pekerja prekariat, atau mereka yang bekerja sesuai kontrak yang tidak memiliki jam kerja serta jaminan pasti, terkait revolusi industri 4.0. Di media dan sektor kreatif, banyak perempuan menjadi kontributor, stringer (wartawan lepas), ghost reporter (wartawan bayangan), dan pekerja kreatif yang menjadi pekerja informal. Kelompok ini tidak dikontrak dan tidak dilindungi undang-undang. UU Cipta Kerja justru membuat mereka, sebagai pekerja informal, semakin tidak menentu nasibnya.

Survei lembaga Sindikasi terhadap kondisi pekerja lepas atau freelancer di sektor media dan kreatif menunjukkan kondisi yang sangat rentan. Sebanyak 76 persen pekerja lepas perempuan tidak mendapatkan cuti haid, 93 persen tidak mendapatkan jaminan kesehatan dan keselamatan kerja, dan 38 persen harus bekerja lebih dari 8 jam per hari. Sindikasi adalah Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi.

“Kondisi ini yang kemudian akan dilanggengkan di dalam undang-undang Cipta Kerja. Siapa yang paling rentan? Pekerja perempuanlah yang paling rentan,” kata Nur Aini dari Sindikasi.

Tulisan "omnibus law lebih berbahaya dari COVID" tampak di tengah demo buruh memprotes Undang-Undang Cipta Kerja, di Bandung, Jawa Barat, Selasa, 6 Oktober 2020. (Foto: Antara via Reuters)
Tulisan "omnibus law lebih berbahaya dari COVID" tampak di tengah demo buruh memprotes Undang-Undang Cipta Kerja, di Bandung, Jawa Barat, Selasa, 6 Oktober 2020. (Foto: Antara via Reuters)

Lita Anggraini dari Jala PRT juga menilai, UU Cipta Kerja tidak mengakomodasi sama sekali pekerja sektor informal, seperti pekerja rumah tangga, pekerja rumahan, dan pekerja lain seperti ojek online dan sejenisnya. Sementara PRT telah memperjuangkan RUU bagi mereka sejak 2004, tetapi tidak pernah selesai. Justru UU Cipta Kerja yang keluar begitu cepat.

“Jumlah angkatan kerja kita 126 juta, dari jumlah itu 70,49 persen adalah pekerja informal, dan jumlah PRT di Indonesia 5 juta lebih, mayoritas perempuan. Ini yang kita pertanyakan,” ujar Lita. [ns/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG