Bursa saham di Eropa dan Asia anjlok, Jumat (2/8), dengan indeks Nikkei 225 Jepang merosot 5,8 persen karena investor panik melihat tanda-tanda pelemahan ekonomi Amerika Serikat (AS).
Bersiap untuk laporan ketenagakerjaan yang sangat dinantikan dan akan dirilis pada Jumat, Indeks S&P 500 turun 1,3 persen, sedangkan Dow Jones Industrial Average merosot 0,9 persen.
Penurunan tersebut menyusul pelemahan Wall Street setelah data manufaktur yang lesu menimbulkan kekhawatiran bahwa Federal Reserve mungkin menunggu terlalu lama untuk menurunkan suku bunganya, sehingga meningkatkan risiko resesi.
Setelah bank sentral AS memutuskan untuk menahan suku bunga acuan pada minggu ini, Ketua The Fed Jerome Powell mengatakan pemotongan suku bunga kemungkinan dilakukan pada September.
“Kelegaan karena Ketua Fed Powell mengumumkan peluang penurunan suku bunga pada September, tidak bertahaan lama dan telah berubah menjadi suram karena investor sekarang panik bahwa bank sentral tidak segera melakukan pemangkasan,” kata José Torres, ekonom senior di Interactive Brokers, dalam laporan.
Penurunan saham Intel sebesar hampir 19 persen dalam perdagangan usai penutupan pasar makin membuat suram. Pembuat cip tersebut mengatakan pihaknya memangkas sekitar 15 persen dari tenaga kerjanya yang sangat besar atau setara 15.000 pekerjaan, agar dapat bersaing lebih baik dengan pesaing yang lebih sukses seperti Nvidia dan AMD.
Pasar Jepang melemah ke posisi perdagangannya pada Januari sebelum melonjak ke level tertinggi sepanjang masa pada bulan lalu di atas 42.000. Nikkei 225 kehilangan 2,216.63 poin pada Jumat menjadi 35,909.70. Saham-saham bank, perusahaan teknologi, dan produsen terimbas aksi jual besar-besaran.
Nikkei telah melemah sekitar 6,2 persen dalam tiga bulan terakhir.
Saham Jepang terpukul setelah bank sentral menaikkan suku bunga acuan pada Rabu (31/7), menjadi 0,25 persen dari 0,1 persen. Hal itu mendorong nilai tukar yen Jepang lebih tinggi terhadap dolar AS, berpotensi merugikan pendapatan produsen besar di luar negeri dan menciutkan lonjakan di sektor pariwisata.
Dolar turun menjadi 148,77 yen pada awal Jumat dari 149,37 yen pada Kamis (1/8) petang. Dolar AS baru-baru ini diperdagangkan di atas 160 yen. Euro naik menjadi $1,0820 dari $1,0789.
Di bursa saham Asia lainnya pada Jumat, Hang Seng di Hong Kong turun 2,1 persen menjadi 16,945.51, sedangkan indeks komposit Shanghai mengalami penurunan yang lebih kecil, sebesar 0,9 persen menjadi 2,905.34.
Sejumlah bursa saham China meneruskan tren pelemahan pada pekan ini karena para investor menyatakan kekecewaannya terhadap upaya terbaru pemerintah untuk memacu pertumbuhan melalui berbagai langkah yang sedikit demi sedikit, bukannya mengharapkan suntikan stimulus yang lebih luas.
Kospi di Seoul turun 3,7 persen menjadi 2,676.19 dan Taiex Taiwan tersungkur 4,4 persen. Kedua pasar tersebut cenderung terpukul oleh melemahnya saham-saham teknologi.
Di bursa lainnya di Asia, S&P/ASX Australia melemah 2,1 persen menjadi 7,943.20 dan Sensex di India turun 1,1 persen. SET Bangkok turun 0,7 persen.
Pekan ini merupakan minggu yang menegangkan bagi pasar bahkan ketika bank sentral di Jepang, Amerika Serikat dan Inggris bertindak sesuai ekspektasi. Jepang menaikkan suku bunga acuannya, The Fed tetap mempertahankan, dan Bank of England menurunkan suku bunga utamanya sebesar 0,25 persen menjadi 5 persen, yang merupakan penurunan pertama dalam lebih dari empat tahun.
Harga komoditas juga mengalami pergerakan yang tajam, dengan harga minyak melonjak setelah pembunuhan para pemimpin Hamas dan Hizbullah yang memicu kekhawatiran konflik di Timur Tengah akan meningkat menjadi perang yang lebih luas. Namun harga turun kembali pada Kamis dan hanya sedikit lebih tinggi pada Jumat pagi.
Minyak mentah acuan AS naik 12 sen menjadi $76,43 per barel. Minyak mentah Brent, standar internasional, naik 12 sen menjadi $79,64 per barel.
Harga emas, yang merupakan tempat perlindungan tradisional bagi investor di masa yang tidak menentu, telah melonjak hingga lebih dari $2.500 per ounce.
Laporan lain pada Kamis menunjukkan jumlah pekerja AS yang mengajukan tunjangan pengangguran mencapai tingkat tertinggi dalam waktu sekitar satu tahun dan produktivitas pekerja AS meningkat pada musim semi. Data tersebut kemungkinan akan mengurangi tekanan pada inflasi dan memberikan lebih banyak kelonggaran bagi The Fed untuk menurunkan suku bunga.
Pertumbuhan lapangan kerja tampaknya melambat lebih dari yang diperkirakan, kata Philip Marey, ahli strategi senior AS di Rabobank, dalam sebuah komentar.
“Hal ini menunjukkan bahwa strategi The Fed untuk menciptakan keseimbangan yang lebih baik antara permintaan dan pasokan tenaga kerja melalui pembatasan suku bunga berhasil. Namun, tentu saja risikonya adalah pertumbuhan lapangan kerja terhenti dan perekonomian tergelincir ke dalam resesi.” [ft/es]