JAKARTA —
Direktur Bahan Bakar Minyak (BBM) pada Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), Djoko Siswanto, di Jakarta, Senin (10/12), menyatakan harga BBM bersubsidi sudah saatnya naik namun dengan cara bertahap.
Menurut Djoko, semakin maraknya penyalahgunaan BBM bersubsidi saat ini karena adanya selisih harga yang menggiurkan bagi para spekulan. Harga BBM non-subsidi sekitar Rp 10.000 per liter sementara harga BBM bersubsidi Rp 4.500 per liter.
Agar tidak muncul lagi masalah BBM bersubsidi, ditambahkannya, ada beberapa tahap yang harus dilakukan.
“Untuk jangka pendek, masyarakat seluruh Indonesia tidak usah khawatir karena BBM bersubsidi tersedia sampai akhir tahun. Untuk jangka menengah, Pertamina wajib memasang sistem IT (Teknologi Informasi) agar BBM bersubsidi ini bisa tepat diberikan kepada orang yang berhak,” ujar Djoko.
“Mengenai harga, secara bertahap saja dinaikkannya dan mohon masyarakat tidak usah demo, tidak usah ribut-ribut. Jika bertahap ini kan mudah-mudahan tidak terasa kenaikannya. Kemudian jangka panjang itu adalah mengkonversi BBM ke gas.”
Pengamat energi Meizar Rahman, yang juga mantan gubernur kelompok negara-negara pengeskpor minyak atau OPEC, juga mengusulkan agar harga BBM bersubsidi dinaikkan bertahap, yang diikuti kompensasi ke masyarakat kurang mampu.
“Tahap awal [kompensasi] berupa BLT (bantuan langsung tunai), tahap selanjutnya berupa fasilitas kesehatan, pendidikan, infrastruktur, energi dan transportasi. Kemudian BBM bersubsidi masih bisa diberikan kepada kendaraan ekonomi, kendaraan bermotor tetapi dengan pengendalian sistem IT, kemudian subsidi juga harus dialihkan untuk memacu perkembangan energi alternatif,” ujar Meizar.
Menurut pengamat ekonomi dari Econit, Hendri Saparini, salah hitung penggunaan BBM bersubsidi seperti tahun ini sehingga kuota harus ditambah tidak boleh terjadi lagi. Tahun depan, ditambahkannya, pemerintah harus lebih berhati-hati mengelola BBM bersubsidi karena belum membaiknya kondisi ekonomi global.
“Perencanaan harus jauh lebih baik, dan yang merencanakan juga harus memiliki strategi bagaimana mengendalikannya, karena tahun ini sudah 45 juta kilo liter dan tahun depan hanya dianggarkan kuotanya 46 juta kilo liter. Dengan pertumbuhan permintaan dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi maka kalau tidak dikelola dari suplai maupun dari permintaannya, maka ini pasti akan terulang lagi,” ujar Hendri.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Andi Irmanputra Sidin mengatakan terus bergejolaknya persoalan BBM bersubsidi adalah kegagalan pemerintah dalam menjalankan konstitusi.
“Presiden sudah gagal karena tidak mampu mengemban kewajiban konstitusionalnya untuk menjamin ketersediaan BBM. BBM ini persoalan konstitusi, jauh lebih dahsyat daripada kasus Century,” ujar Andi.
Angka yang diusulkan para pengamat sejauh ini adalah kenaikan BBM bersubsidi dari Rp 1.500 per liter sampai nantinya menjadi Rp Rp 6.000 per liter. Namun kenaikan tersebut dilakukan secara bertahap masing-masing sebesar Rp 500 per liter per kuartal.
Menurut Djoko, semakin maraknya penyalahgunaan BBM bersubsidi saat ini karena adanya selisih harga yang menggiurkan bagi para spekulan. Harga BBM non-subsidi sekitar Rp 10.000 per liter sementara harga BBM bersubsidi Rp 4.500 per liter.
Agar tidak muncul lagi masalah BBM bersubsidi, ditambahkannya, ada beberapa tahap yang harus dilakukan.
“Untuk jangka pendek, masyarakat seluruh Indonesia tidak usah khawatir karena BBM bersubsidi tersedia sampai akhir tahun. Untuk jangka menengah, Pertamina wajib memasang sistem IT (Teknologi Informasi) agar BBM bersubsidi ini bisa tepat diberikan kepada orang yang berhak,” ujar Djoko.
“Mengenai harga, secara bertahap saja dinaikkannya dan mohon masyarakat tidak usah demo, tidak usah ribut-ribut. Jika bertahap ini kan mudah-mudahan tidak terasa kenaikannya. Kemudian jangka panjang itu adalah mengkonversi BBM ke gas.”
Pengamat energi Meizar Rahman, yang juga mantan gubernur kelompok negara-negara pengeskpor minyak atau OPEC, juga mengusulkan agar harga BBM bersubsidi dinaikkan bertahap, yang diikuti kompensasi ke masyarakat kurang mampu.
“Tahap awal [kompensasi] berupa BLT (bantuan langsung tunai), tahap selanjutnya berupa fasilitas kesehatan, pendidikan, infrastruktur, energi dan transportasi. Kemudian BBM bersubsidi masih bisa diberikan kepada kendaraan ekonomi, kendaraan bermotor tetapi dengan pengendalian sistem IT, kemudian subsidi juga harus dialihkan untuk memacu perkembangan energi alternatif,” ujar Meizar.
Menurut pengamat ekonomi dari Econit, Hendri Saparini, salah hitung penggunaan BBM bersubsidi seperti tahun ini sehingga kuota harus ditambah tidak boleh terjadi lagi. Tahun depan, ditambahkannya, pemerintah harus lebih berhati-hati mengelola BBM bersubsidi karena belum membaiknya kondisi ekonomi global.
“Perencanaan harus jauh lebih baik, dan yang merencanakan juga harus memiliki strategi bagaimana mengendalikannya, karena tahun ini sudah 45 juta kilo liter dan tahun depan hanya dianggarkan kuotanya 46 juta kilo liter. Dengan pertumbuhan permintaan dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi maka kalau tidak dikelola dari suplai maupun dari permintaannya, maka ini pasti akan terulang lagi,” ujar Hendri.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Andi Irmanputra Sidin mengatakan terus bergejolaknya persoalan BBM bersubsidi adalah kegagalan pemerintah dalam menjalankan konstitusi.
“Presiden sudah gagal karena tidak mampu mengemban kewajiban konstitusionalnya untuk menjamin ketersediaan BBM. BBM ini persoalan konstitusi, jauh lebih dahsyat daripada kasus Century,” ujar Andi.
Angka yang diusulkan para pengamat sejauh ini adalah kenaikan BBM bersubsidi dari Rp 1.500 per liter sampai nantinya menjadi Rp Rp 6.000 per liter. Namun kenaikan tersebut dilakukan secara bertahap masing-masing sebesar Rp 500 per liter per kuartal.