JAKARTA —
Meski Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyetujui usul pemerintah untuk menambah kuota bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, Menteri Keuangan Agus Martowardojo menegaskan Kementerian Keuangan tidak akan mengeluarkan anggaran untuk itu sebelum hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diumumkan.
Langkah tersebut diambil agar pengeluaran uang negara benar-benar digunakan sesuai kebutuhan, ujar Agus.
“Kita hanya bisa membayar kalau sudah selesai diaudit oleh BPK. Kedua, seandainya ada anggarannya, tentu anggaran itu harus disetujui oleh DPR kemudian nanti selesai audit BPK baru dibayar,” ujar Agus pada wartawan di Jakarta, Selasa (5/12).
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM, Jero Wacik berharap dengan disetujuinya penambahan kuota BBM bersubsidi, masyarakat tidak berlebihan menggunakan BBM bersubsidi dan para spekulan juga tidak menyalahgunakannya.
“Tambahan BBM bersubsidi tahun 2012 yang tadinya diperkirakan untuk solar akan habis 11 Desember, dan untuk premium akan habis 23 Desember. Sudah saya perintahkan kepada Pertamina untuk segera adakan [BBM] yang disubdidi dan juga yang non subsidi sediakan semaksimal mungkin. Sehingga saudara-saudara yang nanti akan menyambut natal, akan libur tahun baru dapat berlibur dengan baik, tidak usah nimbun-nimbun lagi,” ujarnya.
Effendi Simbolon, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI yang membidangi masalah energi, berpendapat pemerintah sudah harus lebih berhati-hati dalam mengatasi persoalan BBM bersubsidi.
Ia mengingatkan jika kali ini DPR meloloskan permintaan pemerintah menambah kuota, bukan berarti di masa-masa mendatang DPR akan bersikap sama. Sejak awal, ditambahkannya, pemerintah harus mampu menghitung cermat dan tepat kebutuhan BBM bersubsidi agar tidak menganggu proses anggaran yang sedang berjalan.
“Sudah kali ke berapa begini terus, makanya kita minta auditlah. Kita jangan kemudian memaklumkan semua kesalahan itu. Negeri ini kacau balau dimaklumkan semua. Ibaratnya kita salah, aturan yang diubah. Aturan itu juga dibuat sudah disesuaikan dengan kebutuhan dinamika kita,” ujar Effendi.
Wakil Ketua BPK, Ali Masykur Musa, menjelaskan bahwa BPK masih menemukan penyelundupan BBM bersubsidi yang marak. Kondisi tersebut, menurutnya, membuat program pemerintah dalam menyediakan BBM bersubsidi terganggu dan stok habis sebelum batas waktu yang ditentukan sehingga harus ditambah.
Menurutnya, persoalan BBM bersubsidi akan terus muncul sebelum pemerintah menemukan sistem tepat terkait pengawasan penggunaan BBM bersubsidi.
“Pengawasan dan pengaturan tidak ketat sehingga banyak provinsi yang jebol dalam penggunaan kuota BBM. Selain itu, masih banyak BBM bersubsidi diselundupkan karena disparitasnya harga yang begitu lebar sehingga itu merangsang untuk diselundupkan,” ujar Ali.
Saat ini harga BBM bersubsidi jenis premium berharga Rp 4.500 per liter, sementara harga BBM non-subsidi ada di kisaran Rp 10.000 per liter. Berbagai kalangan menilai sudah saatnya harga BBM bersubsidi naik untuk mengurangi beban anggaran negara dan menekan terjadinya penyelundupan.
Disetujuinya tambahan kuota BBM bersubsidi berarti anggaran negara untuk subsidi bertambah dari semula sebesar Rp 216,8 triliun menjadi Rp 222,8 triliun.
Langkah tersebut diambil agar pengeluaran uang negara benar-benar digunakan sesuai kebutuhan, ujar Agus.
“Kita hanya bisa membayar kalau sudah selesai diaudit oleh BPK. Kedua, seandainya ada anggarannya, tentu anggaran itu harus disetujui oleh DPR kemudian nanti selesai audit BPK baru dibayar,” ujar Agus pada wartawan di Jakarta, Selasa (5/12).
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM, Jero Wacik berharap dengan disetujuinya penambahan kuota BBM bersubsidi, masyarakat tidak berlebihan menggunakan BBM bersubsidi dan para spekulan juga tidak menyalahgunakannya.
“Tambahan BBM bersubsidi tahun 2012 yang tadinya diperkirakan untuk solar akan habis 11 Desember, dan untuk premium akan habis 23 Desember. Sudah saya perintahkan kepada Pertamina untuk segera adakan [BBM] yang disubdidi dan juga yang non subsidi sediakan semaksimal mungkin. Sehingga saudara-saudara yang nanti akan menyambut natal, akan libur tahun baru dapat berlibur dengan baik, tidak usah nimbun-nimbun lagi,” ujarnya.
Effendi Simbolon, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI yang membidangi masalah energi, berpendapat pemerintah sudah harus lebih berhati-hati dalam mengatasi persoalan BBM bersubsidi.
Ia mengingatkan jika kali ini DPR meloloskan permintaan pemerintah menambah kuota, bukan berarti di masa-masa mendatang DPR akan bersikap sama. Sejak awal, ditambahkannya, pemerintah harus mampu menghitung cermat dan tepat kebutuhan BBM bersubsidi agar tidak menganggu proses anggaran yang sedang berjalan.
“Sudah kali ke berapa begini terus, makanya kita minta auditlah. Kita jangan kemudian memaklumkan semua kesalahan itu. Negeri ini kacau balau dimaklumkan semua. Ibaratnya kita salah, aturan yang diubah. Aturan itu juga dibuat sudah disesuaikan dengan kebutuhan dinamika kita,” ujar Effendi.
Wakil Ketua BPK, Ali Masykur Musa, menjelaskan bahwa BPK masih menemukan penyelundupan BBM bersubsidi yang marak. Kondisi tersebut, menurutnya, membuat program pemerintah dalam menyediakan BBM bersubsidi terganggu dan stok habis sebelum batas waktu yang ditentukan sehingga harus ditambah.
Menurutnya, persoalan BBM bersubsidi akan terus muncul sebelum pemerintah menemukan sistem tepat terkait pengawasan penggunaan BBM bersubsidi.
“Pengawasan dan pengaturan tidak ketat sehingga banyak provinsi yang jebol dalam penggunaan kuota BBM. Selain itu, masih banyak BBM bersubsidi diselundupkan karena disparitasnya harga yang begitu lebar sehingga itu merangsang untuk diselundupkan,” ujar Ali.
Saat ini harga BBM bersubsidi jenis premium berharga Rp 4.500 per liter, sementara harga BBM non-subsidi ada di kisaran Rp 10.000 per liter. Berbagai kalangan menilai sudah saatnya harga BBM bersubsidi naik untuk mengurangi beban anggaran negara dan menekan terjadinya penyelundupan.
Disetujuinya tambahan kuota BBM bersubsidi berarti anggaran negara untuk subsidi bertambah dari semula sebesar Rp 216,8 triliun menjadi Rp 222,8 triliun.