Penanganan terorisme di Indonesia dianggap kurang maksimal khususnya terkait dengan peran dan fungsi intelijen negara. Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso dalam keterangannya di kantor BIN Jakarta Jum’at (15/1) mengatakan kewenangan BIN, dalam menangani terorisme seperti tertuang dalam pasal 31 hingga pasal 34 Undang-Undang no 17 tahun 2011 tentang intelijen negara hanya memiliki wewenang melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi terhadap sasaran.
"Penggalian informasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 tadi, dilakukan dengan ketentuan tanpa melakukan penangkapan dana tau penahanan. Jadi kita tidak punya kewenangan untuk menangkap orang dan menahannya. Ini lah masalahnya," ujar Sutiyoso.
Sejauh ini menurutnya, BIN sudah mendeteksi dan mengetahui gerakan teroris tetapi tidak bisa menangkap, sehingga akhirnya kejadian atau aksi terorisme benar-benar terjadi, seperti halnya pada peristiwa serangan bom bunuh diri dan penembakan di kawasan jalan Thamrin Jakarta. Untuk itu, kata Sutiyoso, BIN seharusnya diberi wewenang untuk menangkap dan menahan terduga teroris, dengan tetap memperhatikan nilai-nilai hak asasi manusia, seperti yang berlaku di beberapa negara.
"Sementara negara-negara barat, seperti Amerika Serikat dan Perancis dan negara-negara Eropa mereka menghormati keseimbangan, antara menghormati HAM dan kebebasan. Tetapi ketika keamanan nasional terancam oleh terorisme, mereka dapat mengedepankan proses intelijen. Di mana lembaga intelijen diberikan kewenangan untuk menangkap dan menahan," paparnya.
Sutiyoso menambahkan, untuk ke depan, jika penanganan terorisme di Indonesia lebih memberikan rasa aman, perlu perbaikan di dalam UU no 15 tahun 2003 tentang terorisme, agar BIN diberikan kewenangan yang lebih yaitu penangkapan dan penahanan terduga teroris.
Senada dengan Sutiyoso, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Saut Usman Nasution di kantor Kementerian Politik Hukum dan Keamanan memastikan, BNPT sudah menyiapkan draft revisi UU Terorisme.
"Ya kita memang sudah menyiapkan revisi UU no 15 tahun 2003. Kenapa? Karena kita rasakan masih banyak hal-hal yang belum diatur dalam rangka penanggulangan terorisme. Sehingga diharapkan ke depan, beberapa hal yang kita rasakan belum tersentuh hukum bisa tersentuh hukum. Revisi itu menyangkut pembinaan, pencegahan dan penindakan," kata Saut.
Sementara itu Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan berharap Dewan Perwakilan Rakyat bisa merespon positif rencanan revisi UU Teroris ini. Luhut memastikan hal itu bisa tuntas dalam tahun ini.
Luhut mengatakan, "Undang-undang sekarang ini, kita jangan hanya setelah kejadian baru boleh nangkap. Jadi kalau sebelumnya sudah kita duga, ya itu nanmanya pre-emtif. Kita boleh nangkap dong, periksa berapa lama. Supaya tidak ada lagi kejadian ini. Ini sebenarnya sejak Desember 2015 kita sudah tau (akan ada serangan teror), tapi karena belum ada bukti ya kita ga boleh nangkap. Nah itu sudah dibuat oleh BNPT, sudah harmonisasi, kita harap DPR harus merespon ini dengan positif. Harus tahun ini. Jadi kalian dorong lah."
Namun demikian, gagasan perluasan peran BIN hingga bisa menangkap dan menahan seseorang yang dicurigai teroris, di kecam Setara Institute. Ketua Setara Institute Hendardi dalam siaran pers yang diterima VOA mengatakan, usulan BIN ini berpotensi merusak sistem penegakan hukum di Indonesia. Menurut Hendardi, ketidakmampuan BIN mendeteksi potensi teror bukan karena keterbatasan kewenangan, tapi karena kinerja institusi tersebut yang selama ini belum optimal. [aw/em]