Presiden AS Joe Biden menandatangani perintah eksekutif pada Rabu (28/2) yang bertujuan melindungi data pribadi warga Amerika dari musuh asing.
Perintah tersebut berupaya untuk memblokir transfer data dalam jumlah besar seperti informasi geolokasi, biometrik, kesehatan dan keuangan ke “negara-negara yang memicu kekhawatiran.”
Di antara negara-negara tertentu yang diidentifikasi oleh pejabat pemerintahan Biden sebagai mengkhawatirkan adalah China, Rusia, Korea Utara, Iran, Kuba, dan Venezuela.
“Aktor-aktor jahat dapat menggunakan data ini untuk melacak orang Amerika, termasuk anggota dinas militer, menyelidiki kehidupan pribadi mereka, dan meneruskan data tersebut ke pialang-pialang data lain dan badan-badan intelijen asing,” tulis Gedung Putih dalam lembar fakta yang mengumumkan langkah tersebut. “Data ini dapat memungkinkan terjadinya pengawasan yang mengganggu, penipuan, pemerasan, dan pelanggaran privasi lainnya.”
Emily Benson, Direktur Project on Trade and Technology di Pusat Kajian Strategis dan Internasional (CSIS), mengatakan kepada VOA bahwa perintah eksekutif tersebut mewakili salah satu upaya terbesar pemerintah AS untuk menciptakan kerangka privasi. Benson mengatakan faktor pembeda antara pendekatan Amerika terhadap tata kelola data dan pendekatan sekutu lainnya seperti Uni Eropa adalah bahwa pendekatan Amerika didasarkan pada paradigma keamanan nasional, sehingga perintah eksekutif merupakan instrumen keamanan nasional dan bukan mekanisme privasi.
Sarah Bauerle Danzman, profesor studi internasional di Indiana University, Bloomington, mengatakan kepada VOA bahwa ada banyak kekhawatiran mengenai data yang akan masuk ke pihak-pihak yang berpotensi menjadi musuh, termasuk informasi tentang orang-orang di pemerintahan atau militer AS, atau data yang dapat digunakan untuk tujuan pengawasan. Bauerle Danzman mengatakan kekhawatiran tersebut mencakup penggunaan data massal untuk melacak para pembangkang di komunitas diaspora, termasuk untuk tujuan membungkam atau mengintimidasi komunitas.
Hannah Kelley, peneliti di Pusat Program Teknologi dan Keamanan Nasional CNAS (Center for a New Amertican Security), mengatakan kepada VOA bahwa perintah eksekutif tersebut merupakan upaya untuk mencapai kemajuan jangka pendek yang paling berdampak dalam upaya perlindungan data. Kelley mengatakan meskipun ada perdebatan mengenai undang-undang privasi data dalam negeri, terdapat lebih banyak konsensus mengenai perlindungan data AS di luar negeri.
Dia mengatakan ada asumsi bahwa negara-negara yang mendapat perhatian khusus akan menemukan cara untuk mendapatkan informasi sensitif, pribadi dan pemerintah yang tersedia, dan AS berada dalam posisi di mana mereka harus mempersulit negara-negara tersebut untuk melakukan hal itu.
Paul Triolo, pakar kebijakan teknologi di Albright Stonebridge Group, mengatakan kepada VOA bahwa Amerika Serikat dan negara-negara lain “tidak diragukan lagi berupaya melakukan hal yang sama sehubungan dengan China, yang memanfaatkan sumber data yang tersedia secara terbuka atau yang dikumpulkan secara sembunyi-sembunyi.” Namun Triolo juga menunjukkan adanya potensi masalah pembatasan data.
“Bahaya dari pengendalian layanan kesehatan dan data genom yang terlalu ketat adalah bahwa warga negara di China dan Amerika Serikat dapat kehilangan manfaat dari kemajuan dalam layanan kesehatan yang berasal dari analisis data skala besar, yang dilakukan dengan menjaga privasi dan audit data yang dikelola secara hati-hati, yang dapat mengarah pada terobosan dalam pengobatan, memanfaatkan berbagai algoritma AI, misalnya, untuk menghubungkan dan mengekstraksi informasi baru dari data klinis,” kata Triolo. [ii/ab]
Forum