Militer Myanmar menindak keras kelompok-kelompok agama yang menolak menerima pemerintah militer, kata para pemimpin agama.
Hampir 88 persen populasi Myanmar adalah umat Buddha, dan selebihnya adalah umat agama lain seperti Kristen, Islam, dan Hindu. Tampaknya hampir semua kelompok agama di negara itu terdampak oleh kudeta militer.
Dalam sembilan bulan sejak Dewan Administratif Negara yang dipimpin militer menyingkirkan pemerintah yang terpilih secara demokratis, pertempuran terus berlanjut antara pasukan militer dan oposisi antikudeta.
Sebuah ofensif militer yang menarget kelompok etnik bersenjata di negara bagian Chin di Myanmar Barat menewaskan warga sipil dan menghancurkan bangunan-bangunan keagamaan pada akhir Oktober, kata berbagai sumber lokal. Lebih dari 90 persen populasi Chin adalah penganut Kristen, menurut Chin Human Rights Organization.
Juru bicara militer Zaw Min Tun membantah laporan wartawan setempat bahwa bangunan-bangunan itu menjadi target khusus.
Sebuah organisasi lokal, the Burma Human Rights Network, mengutuk serangan itu dalam sebuah pernyataan hari Senin (1/11). Organisasi itu menyatakan junta memiliki riwayat panjang menarget kelompok-kelompok agama minoritas.
Biksu Buddha, umat Muslim, dan Kristen telah turun ke jalan-jalan dan berunjuk rasa menentang pengambilalihan oleh militer. Tokoh-tokoh agama di negara itu menyatakan tindakan militer memiliki dampak mengerikan bagi berbagai kelompok agama.
Suster Francisca, mantan biarawati di sebuah gereja Katolik di Mandalay, menjelaskan bagaimana tentara memerintahkan gerejanya agar tidak ikut dalam protes antikudeta.
“Militer datang dan mengatakan kepada kardinal dan para pemimpin, jangan terlibat dalam revolusi,” katanya.
Ia menambahkan bahwa tentara telah menolak mengizinkan komunitasnya melakukan kegiatan amal harian, termasuk merawat pasien COVID-19. Ia mengemukakan kepada VOA pekan ini bagaimana tentara mengancam akan menembak dia dan orang-orang lain yang duduk di depan rumahnya apabila mereka tidak masuk rumah.
Ia juga menyebut tentang insiden di mana seorang lelaki tetangganya ditembak tentara. Pada malam hari, katanya, warga setempat melakukan tugas ronda. Tetapi tentara menembaki para peronda, salah seorang di antaranya tertembak paru-parunya. “Untungnya ia bertahan. Kami terus takut sepanjang waktu,” lanjutnya.
Ia akhirnya melarikan diri ke kota lain. Meskipun ia menemukan gereja lainnya di sana, tempat itu telah diduduki para tentara dan ia kini masih dalam pelarian.
Thet Swe Win, pendiri Synergy, organisasi yang mempromosikan upaya-upaya kerja sama antaragama di Myanmar, mengatakan kepada VOA melalui telepon bahwa beberapa kelompok agama telah menjadi target militer, termasuk di antaranya kelompok Buddha. Tidak seperti agama lainnya, hanya umat Buddha penentang kudeta yang menghadapi tekanan militer. Ia memperkirakan sekitar 80 persen umat Buddha Myanmar yang menentang junta.
Ia mengatakan militer telah menganggap para biksu yang menolak mengakui pemerintahan junta “palsu” sebelum memukuli dan menangkap mereka.
Ia yakin penindakan terhadap para biksu ini bukan karena agama, tetapi lebih terkait dengan pengaruh.
“Saya tidak yakin ini persekusi terkait agama karena semua biksu yang ditangkap itu terlibat dalam aksi protes. Mereka menyerbu biara-biara untuk menangkapi para biksu. Saya tidak mendengar mereka menghancurkan biara atau pagoda,” lanjutnya.
Myanmar memiliki riwayat panjang dalam hal konflik keagamaan dan etnik. Thet Swe Win mengatakan ia prihatin mengenai nasionalisme di kalangan sebagian biksu Buddha. Tidak ada biksu pendukung maupun penentang kudeta yang menerima kelompok minoritas agama seperti Muslim Rohingya, ujarnya, dan ia menuduh militer menggunakan perselisihan ini untuk memicu ketegangan. [uh/ab]