Tautan-tautan Akses

Belajar dari 2 Turbulensi Pesawat, Haruskah Kita Khawatir?


FILE - Pesawat Singapore Airlines untuk penerbangan SQ321 diparkir di landasan setelah pendaratan darurat di Bandara Internasional Suvarnabhumi.
FILE - Pesawat Singapore Airlines untuk penerbangan SQ321 diparkir di landasan setelah pendaratan darurat di Bandara Internasional Suvarnabhumi.

Lima hari setelah pesawat Singapore Airlines mengalami turbulensi parah yang menewaskan salah seorang penumpang dan melukai 104 lainnya, pesawat Qatar Airways mengalami nasib serupa Minggu lalu (26/5). Mengapa turbulensi semakin sering terjadi, dan haruskah kita khawatir saat naik pesawat terbang?

“Saya baik-baik saja sekarang, saya sudah tenang. Tetapi tadi sangat menakutkan ketika pesawat sepertinya berhenti terbang, tapi ternyata tidak, dan tiba-tiba turun tajam… turun sangat tajam. Beruntung kapten berhasil menguasai pesawat dengan cepat dan tidak terus turun.”

Cheryl Suker menceritakan dengan sedikit terbata-bata situasi di dalam pesawat Qatar Airways QR017 dari Doha menuju Dublin, yang mengalami turbulensi parah saat melintasi wilayah udara Turki pada hari Minggu. Suker selamat karena ia dan suaminya tetap mengenakan sabuk pengaman selama penerbangan Boeing B787-9 itu. Tetapi enam penumpang lain dan enam awak pesawat luka-luka, dan langsung dilarikan ke rumah sakit setibanya pesawat di Dublin, Irlandia.

Peristiwa ini hanya berselang lima hari dari turbulensi parah serupa yang dialami pesawat Singapore Airlines 321 dari London menuju Singapura, yang mengalami turbulensi saat terbang di atas wilayah udara Myanmar pada 21 Mei lalu. Satu orang penumpang berkewarganegaraan Inggris meninggal, diduga akibat serangan jantung, sementara 104 lainnya luka-luka.

Apa Penyebab Turbulensi?

Ilmuwan di National Science Foundation National Center for Atmospheric Research, Lary Cornman mengatakan turbulensi pada dasarnya adalah udara yang tidak stabil, yang bergerak dengan cara yang tidak dapat diprediksi. Kebanyakan orang mengasosiasikannya dengan badai kuat.

“Apa penyebabnya? Ada banyak faktor yang menjadi sumber turbulensi. Saat di dekat permukaan tanah, pemanasan menyebabkan udara naik dengan cepat dan saling bergesekan, dan menyebabkan turbulensi. Pada ketinggian yang lebih tinggi di mana sebagian besar pesawat terbang beroperasi, sumber utamanya adalah turbulensi udara jernih (clear air turbulence). Itu adalah akibat adanya aliran jet yang menyebabkan angin sangat kuat. Dan di ujung-ujung dari aliran jet terdapat gesekan besar. Gesekan inilah yang menyebabkan angin berubah menjadi pusaran,” jelasnya.

Mengingat turbulensi yang dialami pesawat terbang terjadi karena jet stream atau aliran udara yang kuat, pemanasan dan pergerakan udara yang cepat, serta tekanan udara, Larry Cornman mengatakan banyak kajian mengisyaratkan turbulensi erat kaitannya dengan perubahan iklim.

“Tetapi masih belum jelas apakah ini dampak perubahan iklim… ini baru hipotesa. Tampaknya memang masuk akal, tetapi belum ada bukti,” imbuhnya.

Pakar: Singapore Airlines Alami Vertical Wind Shear

Khusus dalam kasus turbulensi yang dialami Singapore Airlines 321 minggu lalu, pakar penerbangan Anita Mendiratta menilai penyebabnya adalah pergesekan angin secara vertikal (vertical wind shear).

Interior pesawat Singapore Airlines penerbangan SQ321 setelah pendaratan darurat di Bandara Internasional Suvarnabhumi Bangkok, di Bangkok, Thailand 21 Mei 2024. (Reuters/Handout via REUTERS)
Interior pesawat Singapore Airlines penerbangan SQ321 setelah pendaratan darurat di Bandara Internasional Suvarnabhumi Bangkok, di Bangkok, Thailand 21 Mei 2024. (Reuters/Handout via REUTERS)

“Zona yang dilintasi Singapore Airlines sedang mengalami musim badai. Saat itu ada badai petir, yang memang biasanya datang seiring tibanya musim hujan. Jadi pesawat itu didera gesekan angin (wind shear) yang membuat aliran udara berubah secara dramatis, baik secara vertikal maupun horizontal. Tapi dalam peristiwa yang menimpa Singapore Airlines, ia terkena gesekan angin vertikal, yang membuat pesawat turun 2.000 meter dalam waktu tiga menit saat pilot berupaya menstabilkannya,' jelasnya.

"Pesawat dibuat supaya mampu menahan turbulensi apapun sehingga secara fisik, pesawat memang sangat kuat. Tetapi apa yang berada di dalam pesawat. Para penumpang dan awak, bagasi, peralatan makan dan lainnya – semuanya benda bergerak yang dapat rusak atau luka karena terlempar kesana-kemari,” imbuh Anita.

Jika ada perasaan khawatir untuk terbang karena dua peristiwa turbulensi ini, hal ini wajar adanya, kata Anita.

“Ini reaksi alamiah. Sama seperti jika kita mengalami kecelakaan mobil, kita menjadi sangat hati-hati saat kembali mengemudi, terutama jika kita baru saja mengalami kecelakaan. Perasaan bahwa mobil atau pesawat menjadi tidak terkendali dan berpotensi celaka atau jatuh karena turun sangat cepat 100 atau bahkan 10 ribu meter dalam hitungan menit atau detik, tentunya akan sangat menakutkan. Akan sangat sulit melalui trauma itu dengan cepat,” jelasnya.

Pakar: Selalu Kenakan Sabuk Pengaman Ketika Duduk di Pesawat

Pakar penerbangan Anita Mendiratta dan ilmuwan Larry Cornman mengatakan sangat jarang ada korban jiwa akibat turbulensi, terutama di pesawat-pesawat komersil. Tetapi fenomena ini masih sangat sulit untuk diramalkan. Yang pasti begitu naik pesawat, penumpang sedianya mengikuti petunjuk awak pesawat dan senantiasa mengenakan sabuk pengaman.

“Sedapat mungkin selalu kenakan sabuk pengaman. Itu alat keselamatan utama. Saya kira semua orang tahu karena pilot akan selalu mengingatkan semua penumpang dan awak pesawat, tetapi orang-orang masih suka lalai. Saya kira ini adalah kunci menghindari jatuhnya korban jiwa dan luka-luka.” [em/jm]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG