Menindaklanjuti upaya membantu mengatasi krisis kemanusiaan di negara bagian Rakhine, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi hari Senin (4/9) bertemu dengan beberapa pejabat Myanmar dan menyampaikan usulan “4 plus 1”. Myanmar menyambut baik usul itu dan siap mengikutsertakan Indonesia dalam tim misi kemanusiaan di Rakhine.
“Kita menyampaikan keprihatinan akan situasi di Rakhine yang telah memakan korban, baik korban meninggal, luka-luka dan mengungsi,” ujar Retno.
Demikian pernyataan Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi usai mengadakan pertemuan pertama dengan Panglima Angkatan Bersenjata U Ming Aung Hlaing di Naypitaw hari Senin. Pertemuan ini merupakan tindak lanjut upaya diplomasi Indonesia menyikapi meluasnya aksi kekerasan di negara bagian Rakhine, yang mayoritas dihuni warga Muslim-Rohingya.
Militer Myanmar Laporkan 400 Orang Tewas dalam Aksi Kekerasan di Rakhine Pekan Lalu
Mengutip laman militer di Facebook, VOA Sabtu lalu (2/9) melaporkan bahwa hampir 400 orang tewas dalam aksi kekerasan di Rakhine pekan lalu. Para pejabat militer mengatakan 370 korban tewas itu adalah pemberontak, 29 lainnya adalah polisi dan warga sipil.
Namun, warga minoritas Muslim-Rohingya melaporkan bahwa desa-desa mereka telah diserang. Human Right Watch mengindikasikan kebenaran laporan itu dengan merujuk pada citra satelit yang direkam pada hari Kamis (31/8) di desa berpenduduk Muslim Chein Khar Li, di Rathedaung, yang memperlihatkan hancurnya 700-an bangunan yang dilalap api.
Wakil Direktur Human Rights Watch Untuk Asia Phil Robertson mengatakan, “Itu hanya satu dari tujuh belas tempat di mana kami temukan pembakaran.”
Setelah menghubungi Penasehat Keamanan Nasional Myanmar U Thaung Tun, Menteri Luar Negeri Bangladesh Mahmood Ali dan mantan Sekjen PBB Kofi Annan yang kini juga menjadi Ketua Komisi Penasehat Negara Bagian Rakhine, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi Minggu sore (3/9) terbang ke ibukota Yangon dan mulai Senin (4/9) mengadakan pertemuan dengan beberapa pejabat Myanmar.
Menlu Retno Sampaikan Usul “4+1” Untuk Rakhine
Dalam pertemuan dengan Panglima Angkatan Bersenjata U Ming Aung Hlaing, disampaikan usulan Indonesia yang disebut “formula 4+1 untuk Rakhine”.
Empat usul itu adalah mengembalikan stabilitas keamanan, menahan diri secara maksimal untuk tidak menggunakan kekerasan, memberi perlindungan kepada semua orang di Rakhine tanpa memandang latar belakang suku dan agama, dan membuka akses bantuan kemanusiaan.
“Saya juga membahas soal laporan Kofi Annan, dan kami meminta militer memberi dukungan pada rekomendasi Kofi Annan. Dan hal terakhir yang saya sampaikan adalah pentingnya menjaga kerjasama dengan otorita Bangladesh, karena tanpa itu akan sulit mengelola perbatasan. Dalam pembicaraan itu pihak militer Myanmar menyampaikan informasi dari lapangan, tetapi ada dua hal yang terus saya tekankan yaitu perlunya wisdom dan leadership dari pihak militer untuk memberi perlindungan pada setiap orang, terutama warga sipil yang tidak berdosa. Terutama lagi terhadap kaum perempuan dan anak-anak,” ungkap Retno.
Bertemu Suu Kyi, Menlu Fokus soal Pembukaan Akses Bantuan Kemanusiaan
“Formula 4+1 bagi Rakhine” itu kembali disampaikan Retno Marsudi ketika bertemu dengan State Counselor atau Menteri Luar Negeri Myanmar Aung San Suu Kyi. Namun secara khusus kedua pejabat membahas pemberian akses bantuan kemanusiaan di Rakhine.
“Ketika saya bicara dengan Aung San Suu Kyi… fokus perhatian kita adalah krisis kemanusiaan di Rakhine. Kita bicara agak panjang tentang akses bantuan kemanusiaan pada orang yang sangat membutuhkan. Misi bantuan kemanusiaan ini akan dipimpin oleh pemerintah Myanmar dan melibatkan dunia internasional, dalam hal ini ICRC dan beberapa negara lain. Atas usulan Indonesia, pemerintah Myanmar menyambut baik agar Indonesia atau ASEAN menjadi bagian penting dalam mekanisme pemberian bantuan kemanusiaan di Rakhine. Assessment mengenai bantuan apa yang diberikan, target mana yang harus didahulukan akan segera disampaikan,” lanjut Retno.
Komisi Penasihat Rakhine Sorot Isu Kewarganegaraan untuk Selesaikan Krisis
Rekomendasi Komisi Penasihat Rakhine pimpinan Kofi Annan yang banyak disorot dalam pertemuan-pertemuan tersebut telah dituangkan dalam laporan setebal 63 halaman yang dirilis bulan lalu. Salah satu rekomendasi penting komisi itu adalah soal isu kewarganegaraan, yang dinilai sebagai hambatan utama mencapai perdamaian di Rakhine.
"Jika isu ini tidak segera ditangani, isu ini akan tetap menjadi penyebab signifikan terjadinya penderitaan kemanusiaan dan ketidakamanan, yang tentunya akan mengganggu pembangunan ekonomi dan sosial di seluruh Myanmar," demikian pernyataan laporan itu.
Komisi itu menyerukan kepada pemerintah Myanmar "untuk menetapkan strategi dan jangka waktu bagi proses verifikasi kewarganegaraan." Otorita berwenang juga didesak untuk mengklarifikasi status mereka yang tidak mendapat kewarganegaraan dan menjelaskan apakah penetapan itu sesuai dengan standar internasional.”
Secara khusus Komisi Penasehat Rakhine merekomendasikan revisi UU Hak Warga Negara Tahun 1982 di Myanmar karena klasifikasi kewarganegaraan dalam aturan hukum itu sangat rumit dan kerap dikaitkan dengan etnis tertentu.
Pemerintah Myanmar akan Bentuk Komite untuk Implementasi Rekomendasi Kofi Annan
Merujuk rekomendasi itu, pemerintah Myanmar mengatakan akan membentuk komite implementasi dan badan penasihat untuk mengawasi pelaksanaan rekomentasi tersebut.
Tahun 2014 PBB Sampaikan Keprihatinan Serius soal Krisis Rohingya
Rekomendasi itu seakan seakan menggaungkan kembali seruan PBB tahun 2014 ketika menyambut reformasi politik dan ekonomi di Myanmar, namun sekaligus menyampaikan "keprihatinan serius" terhadap krisis Muslim-Rohingya. PBB ketika itu menuntut "akses yang setara untuk memperoleh kewarganegaraan bagi seluruh kelompok minoritas Rohingya" dan memastikan akses yang setara pula bagi kelompok ini untuk memperoleh layanan publik.
Menanggapi seruan PBB itu, Myanmar ketika itu mengatakan pihaknya siap memberi jaminan kewarganegaraan kepada kelompok Muslim-Rohingya jika mereka mengidentifikasi diri sebagai "Bengali", terminologi yang ditolak mentah-mentah oleh kelompok minoritas itu. [em/al]