Tautan-tautan Akses

Cek Fakta: Bagaimana Myanmar Mendistorsi Kekerasan Bertahun-tahun Terhadap Rohingya


Seorang pengungsi perempuan Rohingya bersujud setelah melewati perbatasan Bangladesh-Myanmar dengan kapal melalui Selat Benggala, di Shah Porir Dwip, Bangladesh, 11 September 2017.
Seorang pengungsi perempuan Rohingya bersujud setelah melewati perbatasan Bangladesh-Myanmar dengan kapal melalui Selat Benggala, di Shah Porir Dwip, Bangladesh, 11 September 2017.
Misi Myanmar, Jenewa

Misi Myanmar, Jenewa

“Terorisme adalah penyebab utama kekerasan di Rakhine pada 2016 dan 2017."

Menyesatkan

Isu mengenai Myanmar menjadi agenda pertemuan Dewan HAM PBB yang ke-50 di Jenewa, Swiss pada 13 Juni hingga 8 Juli.

Salah satu panel dalam pertemuan itu membahas tentang “akar penyebab pelanggaran dan kekerasan HAM terhadap Muslim Rohingya dan minoritas lainnya di Myanmar.

Dalam sebuah pernyataan, kepala HAM PBB yang masa jabatannya akan segera berakhir, Michele Bachelet mengatakan:

“Bulan Agustus ini, kita akan memperingati tahun kelima kekerasan sistematis dan meluas yang dilakukan oleh militer Myanmar yang telah memaksa lebih dari satu juta Muslim Rohingya meninggalkan tempat tinggal mereka di negara bagian Rakhine di Myanmar, untuk berlindung di negara tetangga Bangladesh.”

Bachelet juga menekankan lebih dari setengah abad, otoritas Myanmar telah “mendiskriminasi dan mengucilkan kelompok etnis dan agama minoritas,” dan menghasilkan catatan panjang pelanggaran HAM.

Tapi misi diplomatik Myanmar di Jenewa membantah dan mengatakan Dewan PBB tidak membahas “akar penyebab masalah itu dengan imparsial.”

“Terorisme adalah penyebab utama kekerasan di Rakhine pada 2016 dan 2017,” kata misi diplomatik Myanmar.

Pernyataan ini menyesatkan.

Serangan militan Rohingya memang terjadi pada 2016 dan 2017, tapi serangan itu timbul setelah bertahun-tahun etnis Rohingya mengalami represi penuh kekerasan dari pemerintah Myanmar.

Pengungsi Rohingya
Pengungsi Rohingya

Selain itu, tindakan keras militer pemerintah Myanmar yang mengakibatkan krisis pengungsi massal telah disebut sebagai genosida oleh Amerika Serikat dan negara lainnya. Pendahulu Bachelet menyebutnya sebagai "contoh pembersihan etnis."

Rohingya adalah kelompok minoritas Muslim yang terkonsentrasi di negara bagian Rakhine di Myanmar barat sebelum akhirnya mengungsi masal ke negara tetangga Bangladesh pada 2016-2017. Mereka percaya mereka adalah warga asli wilayah barat Myanmar.

Pemerintah Myanmar mengatakan tidak ada kelompok Rohingya di Myanmar, dan menyebut mereka adalah migran kolonial dan pasca-kolonial dari Bangladesh.

Klaim tersebut menjadi dalih diskriminasi dan persekusi besar-besaran.

Pada Oktober 2015, peneliti dari International State Crime Initiative (ISCI), di Queen Mary University of London (QMUL), “menemukan bukti kuat bahwa Rohingya mengalami pemusnahan masal dan tengah berada di tahap akhir genosida.”

Laporan ISCI tersebut, yang didukung oleh dokumen pemerintah, menyebutkan:

“Riset ISCT yang mendetil menemukan cukup bukti bahwa Rohingya menjadi target kekerasan HAM secara sistematis dan besar-besaran, termasuk pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan dan penahanan sewenang-wenang; penghancuran rumah dan desa; perampasan tanah; kerja paksa; penolakan kewarganegaraan; penolakan hak identitas sebagai Rohingya; penolakan akses kesehatan, pendidikan dan pekerjaan; pembatasan kebebasan bergerak, dan kampanye kebencian agama yang didukung negara.”

Apa yang disebut ISCI sebagai “strategi jangka panjang” pemerintah Myanmar untuk “mengisolasi, melemahkan dan melenyapkan” Rohingya bisa dilihat dari UU Kewarganegaraan Burma yang diresmikan tahun 1982. UU tersebut menjadi dasar untuk memberikan kewarganegaraan bagi individu yang bisa membuktikan ia punya hubungan keluarga di Burma sebelum 1823.

Badan Pengungsi PBB mengatakan UU itu menjadikan Rohingya sebagai “populasi tanpa negara terbesar di dunia.” UU itu juga tidak menjamin hak dasar dan perlindungan mereka, sehingga mereka rentan terhadap pelecehan dan ekploitasi.

“Kewarganegaraan kami telah dicuri. Status Rohingya tanpa negara bukan tidak disengaja; tapi sengaja dibuat oleh militer Myanmar sebagai bagian dari genosida yang terus berlangsung,” kata aktivis politik Rohingya ternama Nay San Lwin pada Maret 2021.

Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), kelompok pemberontak Rohingya di balik serangan 2016 dan 2017, mengatakan mereka akan menghentikan perlawanan senjata jika kewarganegaraan mereka dipulihkan.

Kekerasan yang dilakukan oleh otoritas Myanmar terhadap Rohingya meningkat drastis pada 1978, 1991, 2012 dan 2016. Setiap kali kekerasan meningkat pada tahun-tahun tersebut, ratusan ribu Rohingya terpaksa mengungsi.

Perwakilan ARSA mengatakan kepada Asia Times bahwa kelompok militan itu mulai beroperasi di Rakhine pada 2013, setelah gelombang kekerasan komunal pada 2012 “menyebabkan banyak orang meninggal dan 130.000 Rohingya yang ditempatkan di kamp kumuh yang diperuntukkan bagi pengungsi dalam negeri.”

“ARSA adalah hasil dari peristiwa (kekerasan) pada 2012,” ujarnya.

Polisi mengawal rombongan PBB di Buthidaung, Myanmar, 28 Agustus 2017.
Polisi mengawal rombongan PBB di Buthidaung, Myanmar, 28 Agustus 2017.

Human Rights Watch melaporkan pada April 2013 bahwa “bentrokan sektarian di empat kota,” pada awal Juni 2012 berubah menjadi “upaya yang terkoordinir untuk memaksa Muslim Rakhine keluar dari negara bagian itu.”

Kasus kekerasan terhadap Rohingya lainnya terus terjadi sepanjang 2013-2015.

Kemiskinan di negara bagian Rakhine sangat parah, tanpa ketersediaan sanitasi dasar, air bersih yang bisa diminum dan listrik. Kemiskinan di sana lebih buruk “daripada di negara bagian lain di Myanmar,” kata World Bank.

Kemiskinan juga menjadi penyebab ketegangan etnis dan agama antara Rohingya dan Rakhine, satu dari empat kelompok etnis Buddha di Myanmar. Etnis Rakhine adalah kelompok mayoritas di negara bagian Rakhine.

Laporan Pencegahan Kekejaman Departemen Luar Negeri AS yang dirilis pada Maret 2016 menggambarkan “kondisi suram” di negara bagian Rakhine, di mana komunitas Rohingya dan Rakhine mengalami “marginalisasi yang sudah berlangsung lama” yang dilakukan oleh negara.

“Tidak adanya investasi dari pemerintah pusat menyebabkan infrastruktur yang buruk dan layanan sosial yang rendah, sementara tidak adanya supremasi hukum menyebabkan kondisi keamanan yang tidak memadai,” menurut laporan tersebut.

Selama masa ketegangan antar etnis, pasukan keamanan negara dituduh gagal menghentikan kekerasan terhadap Rohingya atau justru ikut melakukan kekerasan.

Pada Agustus 2017, serangan yang dilakukan oleh ARSA terhadap 30 pos polisi dan satu pangkalan AD menewaskan 12 anggota pasukan keamanan Myanmar. Serangan serupa pada Oktober 2016 menewaskan 9 polisi.

Pemimpin ARSA menolak dicap sebagai kelompok teroris, dan mengatakan mereka hanya menarget pasukan keamanan. Tapi ARSA dituduh membunuh informan, seperti yang dilaporkan BBC.

Namun, Myanmar lebih banyak melakukan kekerasan.

Survei pada Agustus 2018 yang dirilis oleh Departemen Luar Negeri AS menemukan militer Myanmar “menggunakan serangan ARSA untuk membenarkan apa yang mereka sebut operasi kontra-pemberontakan di Rakhine utara, yang menarget warga sipil tanpa pandang bulu dan seringkali dengan sangat brutal.”

Survei itu juga menemukan bahwa kekerasan di Rakhine utara “sangat ekstrim, dalam skala besar, meluas dan tampaknya diarahkan untuk meneror dan mengusir warga Rohingya.”

Survei itu menyebutkan “Cakupan dan skala operasi militer mengindikasikan bahwa operasi tersebut dirancang dengan baik dan terkoordinasi.” “Di beberapa daerah, pelakunya menggunakan taktik yang mengakibatkan korban masal, contohnya mengunci warga di rumah dan dibakar, memagari desa sebelum ditembaki, atau menenggelamkan perahu berisi ratusan orang Rohingya yang melarikan diri.

Laporan PBB pada Februari 2017 menyebutkan “kekejaman yang mengerikan” digunakan terhadap warga Rohingya di provinsi Rakhine.

Badan pengungsi PBB memperkirakan lebih dari 980.000 pengungsi dan pencari suaka dari Myanmar yang tinggal di negara tetangga.

Respon pemerintah Myanmar terhadap serangan pada Agusttus 2017 memaksa lebih dari 742.000 orang Rohingya pindah ke Bangladesh, dan hampir separuhnya anak-anak.

Forum

XS
SM
MD
LG