Tautan-tautan Akses

Anies Baswedan: 'Jakarta Bukan Hanya Milik Orang Makmur’


Anak-anak beristirahat setelah bermain bola di bantaran Kali Ciliwung di Jakarta, 12 April 2018.
Anak-anak beristirahat setelah bermain bola di bantaran Kali Ciliwung di Jakarta, 12 April 2018.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, berbicara di forum bergengsi “Global Conference 2018” yang diselenggarakan oleh Milken Institute di Los Angeles. VOA Siaran Indonesia mewawancarai Anies Baswedan sebelum berbicara di sesi ASEAN : Pertumbuhan dalam 10 Tahun ke Depan. Berikut selengkapnya.

VOA: Kami mengetahui Bapak akan bicara dalam forum ‘’Global Conference’’ di Milken Institute Los Angeles Selasa pagi ini (1/5) tentang pertumbuhan di ASEAN dalam 10 tahun ke depan dan bagaimana mendorong kerjasama, dan juga interdependensi ekonomi, sebagai suatu blok di kawasan. Apa yang tadi Bapak sampaikan dalam forum tertutup itu ?

Anies Baswedan:‘’Terima kasih sudah diajak bicara di VOA. Saya diundang di Milken Institute Global Conference yang diselenggarakan di Beverly Hills, dimana saya bicara tentang ASEAN dalam 10 tahun ke depan. Jakarta bukan hanya Ibu Kota Indonesia, Jakarta adalah juga Ibu Kota ASEAN dan hari ini lebih dari 41 persen penduduk Asia Tenggara tinggal di perkotaan.

Jika kita lihat perkembangan perekonomian, lebih dari 40 persen GDP di ASEAN berasal dari daerah urban dan pertumbuhan masyarakat di urban akan menjadi lebih besar. Jadi, peran kota di Asia Tenggara ke depan akan membesar dan akan semakin banyak orang yang tinggal di perkotaan. Ini bukan fenomena khusus di Asia Tenggara, tetapi juga di seluruh dunia. Bahkan diperkirakan pada 2050, 75 persen penduduk dunia akan ada di perkotaan.

Jadi, saya sampaikan kepada mereka tentang pentingnya memberi perhatian pada pembangunan untuk memfasilitasi banyaknya penduduk yang akan bermigrasi ke perkotaan. Pembangunan infrastruktur menjadi penting, tidak hanya pembangunan transportasi tetapi juga pembangunan bagi keluarga yang tinggal di perkotaan. Bagi mereka yang tinggal di pedesaan, air pipa tidak terlalu penting karena dengan mudah mereka bisa membangun sumur dan mendapatkan air bersih. Tetapi di perkotaan, pipa air bersih bagi tiap keluarga menjadi sangat penting.

Kedua, soal pengelolaan limbah. Di desa bisa dilakukan dimana saja karena lahannya luas, tetapi di perkotaan, pengelolaan limbah menjadi sangat penting karena di perkotaan tidak ada tempat dimana kita bisa begitu saja membuang sampah. Jadi ini contoh bahwa kita harus mengantisipasi terjadinya pergeseran tempat tinggal penduduk di Asia Tenggara, dan kita harus menyiapkan infrastruktur agar mereka yang semakin banyak tinggal di perkotaan bisa mendapatkan kesejahteraan dan keadilan. Untuk catatan saja, khusus bagi Indonesia, sejak 2009 lebih banyak penduduk tinggal di perkotaan dibanding di pedesaan.”

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berbicara di forum “Global Conference 2018” di Milken Institute, Los Angeles, Selasa (1/5). (Courtesy: Anies Baswedan)
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berbicara di forum “Global Conference 2018” di Milken Institute, Los Angeles, Selasa (1/5). (Courtesy: Anies Baswedan)

VOA: Seiring dengan semakin banyaknya penduduk pindah ke perkotaan karena keberadaan infrastruktur dan keinginan meningkatkan kesejahteraan, ada pula beragam masalah lain yang timbul antara lain banjir, kemacetan, kriminalitas dll. Bagaimana mengatasi hal itu?.

Anies Baswedan: “Betul! Tantangan yang akan muncul adalah tantangan wilayah urban. Oleh karena itu keseriusan menyiapkan hard infrastructure dan soft infrastructure bagi perkotaan menjadi penting sekali. Ini teraplikasi bukan hanya di mega city seperti Jakarta, tetapi juga kota-kota lain yang sedang berkembang. Supaya tidak mengulangi masalah yang dialami kota seperti di Jakarta, dari awal sudah harus diantisipasi adanya pergeseran penduduk dari wilayah rural ke urban.

Masalah yang kita hadapi sekarang adalah kita tertinggal, kita kalah cepat. Jadi tidak mengantisipasi perubahan. Lalu mendadak kita merasakan pressure, seperti di Jakarta jumlah penduduknya begitu tinggi, infrastruktur transportasi otomatis seharusnya tidak menjadi perhatian. Tetapi kita lama tidak memperhatikan itu, baru beberapa waktu ini infrastruktur transportasi secara serius dipersiapkan.

Baca Juga: Anies Tutup Tempat Hiburan Malam Alexis

Dalam forum itu saya bicara tren ke depan bagaimana mengantisipasi hal-hal yang harus kita lakukan sekarang agar ketika benar-benar terjadi pergeseran itu, kita lebih awal siap daripada perubahan yang terjadi.”

VOA: Apakah selama ini Bapak sudah melakukan komunikasi dengan otorita ibu kota lain di Asia Tenggara, misalnya otorita di Kuala Lumpur, Malaysia, Vientiane di Laos, Bangkok diThailand, dan lain-lain untuk saling membagi informasi tata kota?

Anies Baswedan: “Tidak ada yang khusus, tetapi kita lebih pada Jakarta karena posisi Jakarta sebagai Ibu Kota ASEAN. Kita secara serius ingin memfasilitasi. Karena pada prakteknya kita tahu meskipun Jakarta adalah pusat kegiatan resmi ASEAN, tetapi hari ini kegiatan perekonomian Asia Tenggara masih terpusat di Singapura. Singapura masih menjadi hub bagi kota-kota di Asia Tenggara. Nah, Indonesia harus mulai menyiapkan Jakarta untuk bisa menjadi hub tidak saja bagi nasional, tetapi juga Asia Tenggara. Hal ini membutuhkan soft dan hard infrastructure.

VOA:Satu tahun ke depan ini Jakarta akan menjadi tuan rumah dan lokasi penyelenggaraan berbagai acara tingkat dunia, antara lain Asian Games, ASEAN Leaders Forum, dan lain-lain. Beberapa acara besar ada yang diselenggarakan di Bali, seperti IMF-World Bank Annual Meeting, Our Ocean Conference, dan lain-lain. Tetapi sebagian peserta tetap akan singgah di Jakarta. Ini belum termasuk penyelenggaraan pileg dan pilpres. Bagaimana persiapan infrastruktur dan juga lingkungan kesehariannya agar tetap kondusif?

Anies Baswedan: “Yang pertama, soft infrastructure yang saya sebut tadi, dalam hal ini manusianya, menjadi kunci. Pembangunan pada akhirnya adalah pembangunan manusia, dan kami serius di Jakarta untuk melakukan pembangunan di aspek manusia. Mulai dari kesehatan, dengan memastikan agar setiap ibu melahirkan bisa sehat dan kembali ke rumah. Angka kematian ibu masih relatif tinggi di Jakarta. Dan saya harus garis bawahi, di Jakarta tidak boleh lagi ada ibu yang melahirkan dan kemudian dimakamkan. Ia harus bisa kembali ke rumah bersama anaknya.

Kedua, kesehatan anak, ini krusial, agar tidak ada lagi anak yang kurang gizi.

Ketiga, pendidikan, di Jakarta tantangan kita cukup besar karena 28 persen anak usia SMA tidak berada di sekolah. Ini secara provinsi. Jika bicara wilayah, di Jakarta Utara hampir separuh anak usia SMA tidak berada di sekolah. Jadi angka putus sekolah atau drop-out tinggi. Kita tidak bisa biarkan. Selama ini masalah ini tidak muncul di permukaan karena ada supply tenaga kerja yang konstan dari luar Jakarta sehingga kalau pun anak-anak itu tidak lulus SMA, tetap tersedia tenaga kerja karena dari sekeliling Jakarta bermunculan tenaga kerja yang cukup.

Kita akan dorong sekolah-sekolah vokasi. Ini contoh human capital development. Nah terkait dengan event-event besar yang akan berlangsung di Jakarta, event-event itu akan memberi manfaat bagi kita di Jakarta. Misalnya Asian Games, yang memberi kesempatan bagi warga Jakarta, bukan hanya Jakarta sebenarnya, tetapi juga Jawa Barat dan Palembang. Maka, pertama akan menggerakkan perekonomian, dan kedua menjadi kesempatan berinteraksi dan menyadarkan bahwa kita bagian dari warga dunia.

Anak-anak, sekolah, para pekerja dan seluruh warga sudah disiapkan program dan akan diefektifkan setelah lebaran, untuk menyiapkan mereka agar bisa ada engagement yang sebesar-besarnya. Sehingga kita merasa sebagai tuan rumah sebuah event global dan event seperti ini terjadi terakhir kali 56 tahun lalu. Jadi belum tentu ada lagi dalam waktu dekat. Jadi kita melihat ini sebagai kesempatan. Seringkali event seperti ini menjadi isolated-event, dimana hanya mereka yang terlibat langsung yang merasakan. Sekarang kita mencoba untuk tidak melakukan itu, tapi justru membuat masyarakat merasakannya.

Perlu digarisbawahi bahwa Asian Games itu ada tiga komponen di dalamnya. Pertama, komponen persiapan infrastruktur. Kedua, komponen penyelenggaraannya. Ketiga, komponen prestasi atletnya. Ketiganya bukan di tangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Komponen pertama ada di tangan Kementerian PUPRA, komponen kedua di tangan Inasgoc selaku penyelenggara, komponen ketiga di Kementerian Menpora.

Para pekerja proyek Jakarta Mass Rapid Transit bekerja di lokasi konstruksi di kawasan bisnis Sudirman, 17 April 2018.
Para pekerja proyek Jakarta Mass Rapid Transit bekerja di lokasi konstruksi di kawasan bisnis Sudirman, 17 April 2018.

Meskipun kita secara resmi bukan penyelenggara, karena memang ada panitia tersendiri dan di-tackle oleh pemerintah pusat, tapi kami menyadari bahwa event ini terjadi di kota Jakarta. Oleh karena itu kami mendorong seluruh masyarakat terlibat dan ikut merayakan event ini. Secara penyelenggaraan tidak terlibat, tetapi akan menggerakkan warga untuk menyambut. Soal event-event lain, insya Allah Jakarta siap menjadi tuan rumah.

Soal IMF-World Bank Meeting akan dilangsungkan di Bali, meskipun sebagian peserta pasti akan transit di Jakarta. Ini semua kesempatan. Kita harus melihat pertemuan global di tanah air sebagai kesempatan untuk membuka peluang baru, baik di pemerintahan maupun di swasta.”

VOA: Di luar soal infrastruktur yang memang akan dipersiapkan secara maksimal, bagaimana Bapak menjaga agar suhu politik tetap bisa kondusif sehingga tidak terjadi ketegangan baik di tingkat elit maupun akar rumput? Bagaimana menjaga semua pihak bisa saling menghormati satu sama lain?

Anies Baswedan: “Pertama begini… Ketika kita bicara tentang Jakarta, masalah terbesar di kota ini adalah ketimpangan ekonomi dan sosial. Jika kita mengukur angka kemiskinan, memang hanya 3,8 persen. Tetapi “hampir miskin” itu lebih dari 35 persen. Jadi di Jakarta ini kalau penghasilan di bawah Rp500 ribu ada sekitar 400 ribu orang.Tetapi yang di bawah Rp1 juta ada sekitar tiga juta orang. Bayangkan 30 persen penduduk hanya memiliki penghasilan Rp1 juta rupiah. Dan Anda tahu persis apa yang bisa dilakukan dengan penghasilan Rp1 juta rupiah di Jakarta.

Karena itu kami ingin menggarisbawahi bahwa di Jakarta ini persoalan terbesar yang dirasakan rakyat adalah ketimpangan dan kemiskinan ekstrem. Karena itu kehadiran kami jelas sekali, kami ingin Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berpihak untuk menguatkan mereka yang hari ini lemah agar bisa berdiri dengan kaki mereka sendiri. Ini dilakukan lewat kebijakan-kebijakan, misalnya apa, Satu, pembangunan kewirausahaan karena Jakarta adalah kota jasa sehingga peluang untuk menjajakan jasa sangat besar.

Baca Juga: Polisi Periksa Sandiaga Uno Sebagai Saksi dalam Kasus Penggelapan Tanah

Di jalan Sudirman-Thamrin saja, per hari ada 480 ribu delivery menggunakan ojek. Ada yang pesan makanan – pagi, siang dan sore – ada yang pesan alat-alat, barang, dll. Itu baru satu hari dan itu usaha mikro. Itu baru di satu jalan saja sudah 480 ribu delivery. Itulah mengapa kami membuka jalan Sudirman-Thamrin untuk kendaraan roda dua karena inilah rakyat kecil yang akan merasakan manfaat dari pergerakan perekonomian di Jakarta. Jika jalan itu ditutup maka ada 480 ribu pengantaran, yang pastinya orang kecil semua, yang tidak mendapat kesempatan pembagian kue di Jakarta. Orang hanya melihat semata-mata soal Jakarta nyaman atau tidak.

Ini yang harus saya garis-bawahi bahwa Jakarta bukan hanya milik orang yang sudah makmur. Jakarta milik semua. Dan semua harus memiliki kesempatan yang sama di kota ini.Seringkali kita sensitif terhadap pelanggaran yang dilakukan rakyat kecil, tetapi yang besar kita lewatkan. Saya kadang-kadang linu ketika melihat ada rakyat kecil berjualan, difoto, terus diviralkan sebagai pelanggar aturan. Tetapi di belakang orang yang berjualan itu ada gedung tinggi, pencakar langit, yang didalamnya ada sumur penyedot air dalam yang lebih dari 200 meter dalamnya dan mengambil air dengan melanggar perda juga. Yang di depan gedung itu (orang kecil yang berjualan.red) melanggar aturan karena kebutuhan, yang ada di gedung pencakar langit itu melanggar karena keserakahan.Kita seringkali melupakan aspek itu.

Nah lewat kesempatan bicara dengan VOA ini juga kami ingin menegaskan bahwa Pemda DKI Jakarta akan berpihak untuk mengangkat mereka yang kecil, tetapi bukan mengecilkan mereka yang besar. Yang besar biar tumbuh besar, tetapi yang kecil jangan dilewatkan.Tiga juta penduduk kota ini berpenghasilan di bawah Rp1 juta. Karena itu jika saya sebagai gubernur ditanyakan hal ini maka saya akan jawab bahwa tanggung jawab ekstra besar adalah mengentaskan kemiskinan dan mengentaskan kemiskinan.

Soal air bersih saja, ada 40 persen warga di Jakarta yang tidak punya akses pada air bersih. Tidak punya air bersih itu berarti kesehatannya pun akan bermasalah, ongkos hidup jadi lebih mahal karena masih harus membeli air. Sementara mereka yang sudah makmur, air relatif murah karena didapat lewat pipa atau air PAM. Ini contoh betapa di Jakarta, tantangan terbesar bukan banjir, bukan macet, tetapi kemiskinan dan ketimpangan. Karena itu kita harus hati-hati antara kenyataan yang dirasakan oleh masyarakat dengan persepsi yang dibangun lewat media komunikasi, ini dua hal yang berbeda.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berbincang dengan mantan Wakil Presiden AS Al Gore di sela-sela forum “Global Conference 2018” di Milken Institute, Los Angeles, Selasa (1/5). (Courtesy Photo: Anies Baswedan)
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berbincang dengan mantan Wakil Presiden AS Al Gore di sela-sela forum “Global Conference 2018” di Milken Institute, Los Angeles, Selasa (1/5). (Courtesy Photo: Anies Baswedan)

Tugas kita di pemerintahan bukan membentuk persepsi, tetapi tugas kita adalah membuat realita baru. Ini artinya melihat kenyataan. Saya garis bawahi disini, yang akan kita lakukan di Jakarta adalah membereskan persoalan ini yaitu kemiskinan dan ketimpangan. Akan sulit sekali menjadikan Indonesia berperan di level internasional bila di ibu kota sendiri problem-problem dasar pelayanan sosial tidak beres. Jika menemui kesulitan membereskan soal-soal tadi di daerah yang sulit dijangkau, masih bisa menyalahkan infrastruktur bahwa memang belum ada kendaraan, atau mahal, dan lain-lain. Tetapi jika di Jakarta, jaraknya hanya dua kilometer dari kantor saya di Monas, dan di sana ada kemiskinan ekstrem, ada kampung-kampung yang tidak memiliki kamar mandi di rumah masing-masing, tidak punya tempat pembuangan limbah; maka tidak bisa kita menjelaskan hal itu lagi selain bahwa mereka terlupakan.

Jadi, saya ingin agar kita tegaskan bahwa posisi Indonesia di tingkat internasional, start at home (dimulai dari rumah.red). Kalau kota kita prosper (makmur.red) maka secara internasional akan diperhitungkan. Apalagi dalam konteks acara hari ini, yaitu di tingkat ASEAN.Saya merasa tanggung jawab ini yang sekarang harus kita tunaikan bersama-sama.Bukan semata-mata menyiapkan infrastruktur transportasi, dan lain-lain, tetapi infrastruktur bagi rakyat kecil yang hari ini tidak memiliki infrastruktur yang layak untuk hidup di sebuah kota seperti Jakarta.

VOA: Bagaimana Bapak mengantisipasi membludaknya orang yang datang ke Jakarta karena begitu menggiurkannya kesempatan itu?

Anies Baswedan: Ini bukan sesuatu yang aneh. Di seluruh dunia terjadi. Anda melihat New York, Los Angeles, San Francisco. Tetapi kita juga menyaksikan pertumbuhan kota-kota lain. Buat kami, kalau infrastruktur itu baik dan rakyat bisa merasakan peningkatan kesejahteraan, kami bahagia. Apakah kita harus menghentikan orang yang ingin mendapatkan kesejahteraan seperti kita juga?. Jangan sampai kita merasa karena sudah lebih dulu datang sepuluh tahun lalu, maka kota ini hanya untuk saya yang sudah lebih dulu datang kesini.

Mayoritas orang Jakarta itu pendatang juga kok. Mayoritas orang Jakarta itu dulu datang ke Jakarta juga tidak punya apa-apa, naik bis, numpang keluarga, numpang teman. Alhamdulillah, mereka sudah mendapat kemakmuran dari Jakarta. Jangan sampai kita tidak bertindak tidak adil disini. Tapi kita juga tahu pemerintah pusat menyiapkan pembangunan di berbagai wilayah. Jadi trend urbanisasi tidak selalu diartikan sebagai Jakartanisasi karena kesempatan untuk maju, insya Allah ada di seluruh wilayah di seluruh Indonesia.

Recommended

XS
SM
MD
LG