Para penumpang di Bandara Internasional Rafik Hariri di Beirut, Lebanon, terkena dampak gangguan penerbangan pada Senin (5/8) seiring meningkatnya kekhawatiran akan terjadinya perang berskala penuh di kawasan tersebut.
Menyusul beberapa negara lain, Turki dan Jepang juga mendesak warga negaranya untuk meninggalkan Lebanon setelah serangan udara di Beirut pekan lalu menewaskan komandan militer senior Hizbullah, kelompok militan Lebanon.
Pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah berjanji kelompoknya akan membalas pembunuhan tersebut.
Beberapa penerbangan internasional dibatalkan, sementara sisanya ditunda, sehingga membuat para penumpang harus menunggu di terminal keberangkatan.
Penumpang asal Suriah, Adnan al-Shheikha, menuturkan,“Saya sudah di sini sejak tengah malam, saya tiba di bandara tepat tengah malam tadi. Penerbangan saya seharusnya pukul 3.55 pagi, tapi mereka menundanya untuk pertama kali ke pukul 1.15 siang. Dari pukul 1.15 siang, mereka menundanya lagi ke sekitar pukul 6 sore.”
Sementara Jacob Szczesny, wisatawan asal Austria, mengatakan, “Saya datang pada 19 (Juli) dan berencana pulang tanggal 4 Agustus, tapi penerbangan pertama saya dibatalkan, maskapai asal Polandia. Lalu saya membeli tiket baru dari Turkish Airlines yang kemudian dibatalkan juga. Dan hari ini saya sudah menunggu 10 jam untuk penerbangan saya yang kemudian dibatalkan, maaf, maksud saya ditunda.”
Sementara itu, sejumlah kapal perang dan pesawat tempur AS dikirim ke Timur Tengah untuk mencegah pecahnya perang berskala penuh dan demi “membela Israel.”
Dalam wawancara dengan program “This Week” ABC News pada hari Minggu (4/8), seperti diunggah pada akun X program tersebut, Wakil Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih Jon Finer mengatakan, “Pentagon mengirimkan sejumlah besar aset ke kawasan tersebut untuk mempersiapkan kemungkinan kebutuhan pertahanan lainnya bagi Israel dari suatu serangan, meski secara bersamaan kami juga berusaha sangat keras untuk menurunkan ketegangan situasi secara diplomatik, karena kami yakin perang kawasan tidak akan menguntungkan siapa pun saat ini, dan itu yang justru kami coba hindari sejak peristiwa 7 Oktober.”
Unjuk kekuatan militer itu dilakukan di tengah meningkatnya ketegangan di kawasan menyusul pembunuhan pemimpin tertinggi Hamas, Ismail Haniyeh, di Teheran pekan lalu.
Beberapa hari sebelumnya, sebuah serangan roket ke Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel, menewaskan 12 anak yang berada di sebuah lapangan sepakbola.
Israel menyalahkan Hizbullah atas serangan tersebut dan kemudian melancarkan serangan ke Lebanon, yang menewaskan seorang komandan Hizbullah. Baik Hamas maupun Hizbullah sama-sama didukung Iran.
Dalam pernyataan Pasukan Pertahanan Israel (IDF), yang VOA ambil dari Associated Press, juru bicara militer Israel, Laksamana Muda Daniel Hagari, menuturkan, “Agresi dan serangan brutal Hizbullah yang terus berlanjut menyeret rakyat Lebanon dan seluruh Timur Tengah ke dalam eskalasi yang lebih luas. Meskipun kami lebih memilih untuk menyelesaikan permusuhan tanpa perang, IDF sepenuhnya siap menghadapi skenario apa pun.”
Sementara di Beirut, dalam tayangan yang disiarkan stasiun Al Manar TV yang dikelola Hizbullah, pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah membantah keterlibatan kelompoknya dalam serangan ke Dataran Tinggi Golan.
“Kami dengan tegas membantah bertanggung jawab atas insiden ini, dan kami berani memikul tanggung jawab jika (memang) kami mengebom suatu tempat, bahkan (jika dilakukan) secara tidak sengaja,” jelasnya.
Terlepas dari aksi saling tuduh, konsekuensi nyata dirasakan langsung oleh masyarakat yang tinggal di kawasan itu.
Sistem pertahanan udara Kubah Besi Israel menyala pada akhir pekan untuk mencegat serangan dari seberang perbatasan di Lebanon.
Sementara Departemen Luar Negeri AS mengeluarkan imbauan “jangan bepergian” ke Lebanon dan mendorong warga negara AS untuk mengungsi dari negara itu. [rd/ab]
Forum