Sejumlah daerah di Jawa Timur memulai program makan bergizi gratis yang digagas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yang nantinya secara bertahap diikuti sekolah-sekolah lain di seluruh Indonesia. Aktivis Komunitas Nol Sampah Surabaya, Hanie Ismail sempat memantau pelaksanaannya di sejumlah sekolah di Sidoarjo yang dimulai sejak Senin (6/1/2025) kemarin. Ia melihat adanya sisa makanan karena tidak sesuai dengan selera sejumlah siswa.
Menurut Hanie, peningkatan volume sampah dari sisa makanan perlu diminimalisir, diantaranya dengan mengedukasi siswa untuk menghabiskan makanan, atau membawa pulang sisa makanan yang tidak habis. Selain mengurangi timbulnya sampah organik baru, Hanie mengingatkan sekolah untuk menyediakan fasilitas pengolahan sampah sisa makanan.
“Memang tidak menutup kemungkinan bahwa nanti bakal ada sampah-sampah dari sisa-sisa makanan itu yang semakin meningkat. Dan kalau misalkan sekolah mempunyai fasilitas pengelolaan sampah organik, sisa-sisa makanannya mendingan diolah di sekolahnya masing-masing, dan itu menjadi poin tersendiri, bahwa sebenarnya sekolah sudah mampu untuk mengelola sampah yang dihasilkan oleh si warga di sekolah itu sendiri. Tapi, yang pasti kita harus reduce dulu, mengurangi tidak menghasilkan sampah,” kata Hanie Ismail.
Penjabat Gubernur Jawa Timur Adhi Karyono mengatakan akan memastikan dinas-dinas terkait untuk memitigasi persoalan-persoalan yang muncul pada program pemberian makan bergizi gratis di sekolah, sekaligus menyiapkan pengelolaan sampahnya.
“Kita akan koordinasikan dengan Dinas Lingkungan Hidup, sementara ini masih dengan Dinas Pendidikan karena lokasinya ada di sekolah. Saya minta, otomatis dari Dinas Lingkungan Hidup, tetapi saat ini saya minta Dinas Pendidikan untuk memonitor semua persoalan yang terkait dengan pemberian makanan gratis di sekolah, termasuk dengan bagaimana pengelolaan sampahnya,” kata Adhi Karyono.
Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, meminta masyarakat turut berperan dalam upaya mengurangi volume sampah yang dibawa ke tempat pembuangan akhir (TPA), melalui pemilahan dan pengurangan sampah dari rumah masing-masing. Langkah ini, kata Eri, akan mendukung target pemerintah kota mengurangi volume sampah setiap harinya yang dibuang ke TPA Benowo.
“Saya berharap penduduk ini juga berkurang ya sampahnya itu ya berkurang, belajar mulai memilah mulai sampah dari awal, mengurangi penggunaan plastik, sehingga sampahnya tidak bertambah terus. Di setiap RW, di kelurahan masing-masing sudah 5 RW itu sudah ada pemilahan dari rumah, sehingga target kita tidak 1.600 ton lagi, tapi dengan mulai pemilahan sampah yang ada di RW-RW, juga dengan bank sampah, dengan TPS3R, maka target kita menjadi 1.400 ton (sampah di Surabaya per-hari),” sebutnya.
Jumlah sampah yang dibawa ke tempat pembuangan akhir sampah (TPA) di Benowo setiap harinya sebanyak 1.600 ton. Jumlah ini disumbang oleh sekitar 3,2 juta jiwa penduduk Surabaya. Angka itu belum termasuk sampah dari warga pendatang yang bekerja di Surabaya. TPA Benowo sejak sembilan tahun terakhir telah mengoperasikan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa), yang mampu menghasilkan sekitar 12 Megawatt listrik dari sampah, melalui metode gasifikasi dan sanitary landfill gas. Inovasi ini berusaha mengurangi volume sampah dengan menghasilkan energi listrik.
Direktur Utama PT Sumber Organik Agus Nugroho Santoso mengatakan instalasi pengubah sampah menjadi energi listrik yang dikelolanya ini memanfaatkan semua jenis sampah untuk dijadikan energi, mulai sampah organik hingga non-organik.
“Jadi, sampah di sini itu komposisinya organik kurang lebih 55-60 persen, sisanya sampah non-organik yang masuk ke TPA sini. Makanan juga masuk semua, dari restoran, dari mana semuanya masuk sini juga,” kata Agus Nugroho Santoso.
Agus mengakui, komposisi sampah organik masih lebih banyak dibandingkan sampah non-organik yang dibuang ke TPA Benowo. Padahal, katanya, sampah non-organik lebih bayak menghasilkan kalori yang dapat diubah menjadi energi listrik. Melalui sampah, PT Sumber Organik mendapatkan dana sekitar Rp. 80 Milyar rupiah dari menjual listrik ke PLN.
“Lebih banyak yang non-organik, karena kan lebih gampang dibakar. Kalau yang sampah makanan kan nilai kalorinya lebih rendah. Tapi, dengan komposisi sampah yang masuk ini, akan membentuk nilai kalori rata-rata yang mana bisa dapat diproses buat dibakar,” jelasnya.
Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, saat mengunjungi pembangkit listrik tenaga sampah di TPA Benowo, Selasa (7/1/2025), menyebut model pengelolaan sampah dengan mengubahnya menjadi energi listrik dapat menjadi contoh solusi mengatasi masalah sampah di berbagai daerah di Indonesia. Terkait potensi sampah sisa makanan atau sampah organik yang masih lebih banyak, Zulkifli Hasan meminta masyarakat menggalakkan kembali budaya makan harus habis, sebagai kebiasaan yang baik untuk mengurangi sampah organik.
“Ya tentu ini kan budaya yang harus terus menerus menjadi tugas kita semua. Misalnya kita habis makan, padahal ajarannya kan jelas, makanan yang mubadzir itu kan temannya syaiton, tapi itu dogma. Nah ini harus menjadi habit, menjadi kebiasaan, menjadi budaya kita semuanya. Nanti sampah, makan selalu bersisa, dibuang, waduh itu dampaknya luar biasa itu sebetulnya, tikus akan jadi banyak, sampah itu akan menghasilkan penyakit, belum biayanya juga mengolahnya mahal,” komentarnya. [pr/ab]
Forum