Majelis Hakim Pengadilan Negeri Batam menjatuhkan vonis hukuman penjara selama dua bulan dan 15 hari, terhadap 2 jurnalis asal Inggris Neil Richard George Bonner (32 tahun) dan Rebecca Bernadette Margaret Prosser (31 tahun).
Penasihat Hukum terdakwa Aristo Pangaribuan kepada VOA Selasa (3/11) menjelaskan, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Batam Wahyu Prasetyo Wibowo, juga mengenakan denda Rp 25 juta, subsider satu bulan penjara kepada kedua terdakwa. Majelis Hakim menilai keduanya bersalah melakukan kegiatan membuat film dokumenter tanpa ijin.
"Setelah mengalami rangkaian sidang kurang lebih 1 bulan, akhirnya pengadilan memutuskan mereka bersalah ya, melakukan penyalahgunaan ijin imigrasi. Dan dihukum penjara 2 bulan 15 hari. Mereka ini kan sudah menjalani penahanan cukup lama, total itu mulai dari tahanan rumah tahanan kota, hitungannya kira-kiran 2 bulan 13 hari. Dengan putusan ini kira-kira hari Kamis (5/11) lah mereka bisa kembali ke negaranya," kata Aristo.
Ketua Majelis Hakim Wahyu Prasetyo Wibowo dalam pembacaan putusannya mengatakan, hal-hal yang meringankan kedua terdakwa adalah karena mereka merupakan jurnalis yang baik dan profesional. Lalu ada permintaan maaf dari pihak Kedutaan Inggris di Jakarta dan permintaan maaf dari keluarga dan orang dekat lainnya. Permintaan maaf tersebut disampaikan secara tertulis akibat ketidaktahuan kedua jurnalis ini. Hakim juga memerintahkan jaksa mengembalikan kamera kepada terdakwa, namun flash disc penyimpan data disita negara dan alat lainnya harus dimusnahkan.
Aristo Pangaribuan kepada VOA mengatakan, ada kelemahan dari pertimbangan putusan majelis hakim yang berpegang pada keterangan dari Jaksa Penuntut Umum yang mengatakan kedua jurnalis itu sudah melakukan kegiatan jurnalis tanpa ijin.
"Ada penafsiran dari Majelis Hakim yang menurut saya berbahaya. Ada sebuah silogisme simpel dimana kegiatan jurnalistik yang dimaksud tidak didefinisikan. Padahal ada definisinya di undang-undang pers dan peraturan kominfo. Ketika seorang jurnalis memegang kamera, mengambil gambar, disebut sedang melakukan kegiatan jurnalistik. Ini kan berbahaya. Artinya, profesi jurnalis itu akan menempel seumur hidu. Ketika sedang liburan lalu ambil foto-foto, disebut sedang mengambil kegiatan jurnalistik. Kalo visa nya visa turis, bisa dikriminalisasi. Ini yang seharusnya diluruskan," kata Aristo.
Aristo juga menyesalkan perlakuan yang diterima kedua jurnalis ini oleh pihak aparat keamanan Indonesia dan pengadilan negeri. Seperti halnya, harus mengenakan pakaian tahanan, diborgol dan disatukan dengan tahanan perkara pidana. Padahal semestinya untuk perkara administratif menurut Aristo, tidak perlu dilakukan penahanan dan proses pengadilan.
"Indonesia masih paranoid terhadap jurnalis asing. Selalu dianggap, akan membawa kabar buruk tentang Indonesia. Nah padahal di pemerintahan yang baru ini, janji Presiden Joko Widodo, akan membuka kesempatan yang seluas-luasnya. Tapi kita lihat, perlakuan birokrasinya masih belum ada perubahan. Bahkan saya katakan lebih buruk," imbuhnya.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, menyesalkan vonis penjara yang dijatuhkan pengadilan negeri Batam terhadap dua jurnalis asing asal Inggris itu. Ketua Ketua Umum AJI Indonesia Suwarjono kepada VOA mengatakan, kedua jurnalis itu seharusnya tidak perlu menjalani proses penahanan dan pengadilan.
"Seharusnya sejak awal, pengadilan membebaskan kedua terdakwa. Karena mereka secara hukum hanya melakukan kesalahan administrasi. Seharusnya cukup dengan deportasi saja," kata Suwarjono.
Suwarjono melihat dengan vonis ini, akan menjadi preseden buruk kedepannya, terkait dengan peliputan dari media asing di Indonesia.
"Saya kira akan menjadi preseden buruk. Para jurnalis (asing) akan berpikir ulang untuk datang ke Indonesia. Dan mereka pasti akan membayangkan betapa susahnya meliput di Indonesia karena harus menggunakan visa jurnalis yang sangat panjang prosesnya," lanjutnya.
Neil dan Rebecca ditangkap pihak TNI Angkatan Laut Batam ketika membuat film dokumenter tentang perampokan di Selat Malaka. Keduanya ditangkap TNI Angkatan Laut di Perairan Belakang Padang, Batam, Selat Malaka pada 28 Mei 2015. [aw/eis]