Tautan-tautan Akses

AJI: Kekerasan Terhadap Jurnalis Meningkat, 2015 ada 44 Kasus


Kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia meningkat menjadi 44 kasus di tahun 2015 dari sebelumnya 40 kasus di tahun 2014. (Foto: VOA/R.Teja Wulan).
Kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia meningkat menjadi 44 kasus di tahun 2015 dari sebelumnya 40 kasus di tahun 2014. (Foto: VOA/R.Teja Wulan).

Kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia setiap tahun terus meningkat. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat, sepanjang tahun 2015 lalu kekerasan terhadap jurnalis mencapai 44 kasus, naik dari tahun 2014 yang berjumlah 40 kasus.

Polisi sebagai pelaku kekerasan terhadap jurnalis meningkat dua kali lipat, dari sebelumnya pada tahun 2014 hanya enam kasus, kini tercatat ada 14 kejadian pelaku kekerasan adalah polisi. Hal tersebut mengemuka saat para jurnalis yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia, pada 3 Mei baru-baru ini.

Beberapa kasus kekerasan terhadap jurnalis juga terjadi di Bandung. AJI Bandung mengemukakan, salah satu insiden kekerasan itu terjadi saat peristiwa kerusuhan di Lembaga Pemasyarakat (Lapas) Banceuy, Bandung, belum lama ini.

Saat itu seorang pewarta foto dari sebuah media online mendapatkan intimidasi dari anggota Brimob Polda Jawa Barat. Foto-foto yang berhasil didapatnya dihapus oleh anggota Brimob tersebut. AJI menilai tindakan yang diterima oleh jurnalis tersebut adalah sebuah intimidasi dan telah melanggar Undang-Undang no. 40 tahun 1999 tentang Pers, karena telah dianggap menghalangi kerja jurnalis.

Ketua AJI Bandung, Adi Marsiela mengatakan, yang dibutuhkan jurnalis adalah kebebasan berekspresi, kebebasan mengeluarkan pendapat, dan mengkritik.

“Kami mengecam tindakan intimidatif anggota kepolisian kesatuan Brimob terhadap jurnalis, karena akan menjadi preseden buruk bagi penjaminan kebebasan berekspresi. Yang paling dirugikan dari intimidasi-intimidasi seperti ini adalah masyarakat karena mereka berhak atas informasi yang akurat dan terverifikasi dari para jurnalis di lapangan,” kata Adi Marsiela.

Adi menambahkan, ada jaminan hak asasi manusia yang mencakup hak memperoleh informasi dan hak menyebaluaskannya pada masyarakat. Sehingga AJI pun mengingatkan pemerintah agar turun tangan dalam menjamin kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi ini.

Sementara itu, Ketua Jurnalis Foto Bandung, Djuli Pamungkas mengingatkan penegak hukum atas kekerasan terhadap jurnalis yang tak kunjung usai hingga sekarang.

“Dari 12 kasus pembunuhan terhadap jurnalis, masih ada delapan yang tidak terselesaikan. Udin, journalis Harian Bernas di Yogyakarta 1996; Naimullah, Harian Sinar Pagi di Kalimantan Barat 1997; Agus Mulyawan, Asia Press, di Timor Timur, 1999; Muhammad Jamaluddin, TVRI di Aceh 2003; Ersa Siregar RCTI di Nangroe Aceh Darussalam 2003; Herliyanto, Tabloid Delta Pos Sidoarjo 2006; Adriansyah Matra’is Wibisono, TV lokal Merauke Papua 2010; dan Alfred Mirulewan Tabloid Pelangi Maluku 2010,” kata Djuli Pamungkas.

Untuk itu, AJI meminta penegak hukum untuk mengusut tuntas kasus kekerasan yang terjadi pada jurnalis tersebut. AJI juga mengutuk segala tindakan kekerasan terhadap jurnalis dan siapapun yang menyampaikan ekspresinya, serta meminta pemerintah maupun penegak hukum untuk menghentikan impunitas. AJI pun berpesan kepada aparat kepolisian agar menjamin keamanan jurnalis dalam bekerja mengumpulkan informasi.

Dalam memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia (World Press Freedom Day) tersebut, para jurnalis yang tergabung dalam AJI Bandung, Wartawan Foto Bandung (WFB), dan Pewarta Foto Indonesia (PFI) turun ke jalan dan berorasi di Taman Vanda, Bandung, yang letaknya berdekatan dengan Kantor Polrestabes Bandung. Dalam aksi tersebut para journalis juga menggalang tanda tangan di atas spanduk yang isinya menfolk kekerasan terhadap jurnalis. [tw/jm]

Recommended

XS
SM
MD
LG