Seratus sembilan puluh lima tokoh dari berbagai kelompok masyarakat hari Selasa (20/2) mengadakan pertemuan dan menyampaikan keprihatinan atas berbagai tindakan intoleran, diskriminasi, persekusi dan berbagai ancaman terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan; yang diyakini mengancam kebhinekaan Indonesia. Di antara 195 tokoh itu adalah Jerry Sumampouw dari Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Ketua Setara Institute Hendardi, Direktur Eksekutif ICRP (Indonesia Conference on Religion and Peace) Musdah Mulia dan Ray Rangkuti dari Lingkar Madani Indonesia.
Ketua Setara Institute Hendardi yang mengorganisir pertemuan di Jakarta itu mengatakan saat ini ada kecenderungan menguatnya fundamentalisme agama dalam beragam wujud; dan hal ini sedianya ditangani dengan cepat dan efektif agar tidak menguatkan politisasi identitas.
"Secara aktual, seruan moral kebhinnekaan ini juga ditujukan untuk mengingatkan semua pihak yang berkontes dalam 171 pilkada dan berkontes pada Pemilu 2019 untuk tidak menggunakan sentimen SARA dalam berkampanye, karena dampak dari itu adalah kohesi sosial kita yang terkoyak-koyak," papar Hendardi.
Baca juga: Uskup Pimpin Langsung Misa di Gereja St.Lidwina dan Bertemu Buya Syafii Maarif
Hendardi menambahkan salah satu indikator integritas pemilu adalah kampanye yang sehat, produktif, dan mencerdaskan. Juga tidak ada sentimen SARA, hoax, dan ujaran-ujaran kebencian, apalagi dengan cara mengkapitalisasi kekerasan dan benturan sosial. Pemerintah menurutnya harus bertindak cepat dan professional merespon setiap upaya memecah belah, dan mengambil tindakan tegas terhadap pelaku.
Menurutnya pemilihan kepala daerah tahun ini dan pemilihan umum 2019 tidak boleh menggunakan politisasi agama, kampanye hitam, dan syiar kebencian berbasis sentimen SARA. Dan setiap elemen masyarakat perlu berperan lebih besar untuk menanamkan prinsip bahwa kebhinekaan adalah ruh negara dan bangsa Indonesia.
Direktur Eksekutif ICRP Musdah Mulia mengatakan prihatin dengan serangan-serangan fisik terhadap para pemuka agama. Ia menampik jika serangan itu dinilai dilakukan oleh orang dianggap gila. “Ini kesengajaan,” ujarnya tegas.
Musdah juga menyampaikan kekecewaannya kepada Badan Intelijen Negara (BIN) yang dengan cepat menyebut serangan-serangan fisik terhadap para tokoh agama sebagai kampanye hitam semata. Menurutnya BIN bukan sekedar kecolongan, tapi memang tidak bekerja optimal untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan itu.
"Mustinya BIN kan jauh-jauh hari memberikan prediksi. Udah tahu kan akan ada pilkada, mestinya udah siap dari dulu dong. Karena dengan melihat kasus di pilkada DKI, mestinya udah siap. Masak, kecolongan," ujar Musdah.
Baca juga: Majelis Dzikir Gusdurian Lakukan Doa Bersama di Gereja St. Lidwina
Menanggapi serangan fisik terhadap sejumlah tokoh agama, Hendardi menganggap fenomena ini mirip kasus ninja dan dukun santet menjelang rezim Soeharto tumbang. “Polanya sama, namun kemasannya baru, untuk menciptakan ketidakstabilan negara,” ujarnya.
Ditemui secara terpisah, Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Setyo Wasisto mengatakan Mabes Polri tambahnya telah mengirimkan pasukan tambahan ke beberapa daerah untuk mengungkap kasus kekerasan terhadap beberapa tokoh agama, seperti yang terjadi di Jawa Barat, Jawa Timur dan Yogyakarta. Setyo menambahkan Polri serius untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut.
"Tim sekarang sudah berangkat ke Jawa Timur, Jogja untuk pendalaman kemudian Jawa Barat. Saya ingin menyampaikan kepada masyarakat, dengan adaya kejadian ini ada yang ikut numpang, memanfaatkan. Wah ini yang menyerang orang gila padahal tidak seperti itu," tukas Setyo.
Aksi penyerangan terhadap tokoh agama dan tempat ibadah terjadi sejak akhir Januari lalu. Yang terbaru adalah serangan terhadap KH Hakam Mubarok, pengasuh Pondok Pesantren Karangasem, di Paciran, Lamongan; yang diserang beberapa orang asing di kompleks pesantrennya pada hari Minggu lalu (18/2). Identitas pelaku masih belum diketahui.
Baca juga: Presiden Jokowi Tegaskan Tidak Ada Tempat Bagi Kelompok Intoleran
Sebelumnya penganiayaan serupa terjadi terhadap ustad Prawoto, pengasuh Pondok Pesantren Al Hidayah, KH Umar Basri, di Cicalengka, Kabupaten Bandung. Prawoto yang merupakan salah satu petinggi Persatuan Islam (Persis) kota Bandung meninggal dunia setelah sempat dirawat di rumah sakit.
Kasus lain adalah persekusi terhadap biksu Mulyanto Nurhalim di Tangerang, Banten, yang dituduh menjadikan rumah sebagai tempat ibadah. Disusul serangan terhadap jemaat Gereja St Lidwina di Sleman, Yogyakarta, yang mengakibatkan lima orang luka-luka, termasuk pastor Karl-Edmund Prier SK (Romo Prier) yang tengah memimpin ibadah, dan seorang anggota kepolisian yang berusaha menghentikan perbuatan pelaku. [fw/em]