Hasil Kajian Kebijakan Perlindungan dan Pemenuhan Hak Anak di Papua mengungkapfakat-fakta memprihatinkan. Berdasarkan Statistik Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua, BPS, 2020, baru 56,6 persen anak- usia 0-4 tahun di Papua yang memiliki akte kelahiran, dan angka pernikahan anak di bawah usia 19 tahun mencapai 24,71 persen.
Kajian itu disusun oleh Wahana Visi Indonesia( WVI) bersama Deputi V Kantor Staf Presiden RI, dandisampaikan dalam webinar bertema Mengurai Kerumitan Perlindungan Anak di Papua, Selasa (14/9).
“Setidaknya ada enam permasalahan pokok yang muncul, pertama adalah kekerasan fisik dan verbal yang sering dihadapi oleh anak-anak di Papua kemudian perundungan, berikutnya pergaulan bebas dan perkawinan anak,” kata Agung Wijaya, Peneliti dari Tim Riset WVI.
Penelitian itu dilakukan di empat kabupaten di Papua, yaitu kabupaten Jayapura, Jayawijaya, Biak Numfor dan Asmat dengan metode mempelajari kebijakan, mempelajari data melalui diskusi terfokus bersama anak, dan wawancara denganpara pemangku kepentingan. Penelitian itu dilakukan sejak akhir tahun 2020 hingga Mei 2021.
Dari sisi regulasi, diketahui bahwa dari 4 kabupaten yang diteliti, hanya Kabupaten Jayapura yang sudah memiliki Peraturan Daerah nomor 6 tahun 2019 tentang Perlindungan Anak. Di tingkat provinsi, meskipun sudah memiliki Perda Nomor 8 tahun 2013 tentang Perlindungan Korban Kekerasan Rumah Tangga, Provinsi Papua belum mengatur secara khusus pemenuhan hak anak.
Minimnya kebijakan khusus untuk pemenuhan hak anak atau perlindungan anak ini berdampak pada masih banyaknya anak-anak yang mengalami kekerasan fisik dan verbal, terjerumus dalam pergaulan bebas dan pernikahan anak, tidak memiliki akte kelahiran, dan tidak bersekolah atau putus sekolah.
Anak Papua Kesulitan Belajar di Masa Pandemi
Jaleswari Pramodhawardani, Deputi V Kantor Staf Presiden RI mengakui masih banyak pekerjaan rumah untuk perlindungan anak di Papua yang juga dihadapkan pada masalah kemiskinan. Berdasarkan data BPS September 2020, tingkat kemiskinan di Papua mencapai 26,8 persen atau tertinggi di Indonesia.
“Selain itu konflik juga berdampak pada anak-anak di bidang pendidikan. Sebagai contoh konflik di kabupaten Nduga pada 2019 telah menyebabkan empat ribu siswa tidak bersekolah selama dua tahun delapan bulan” kata Jaleswari.
Dia menambahkan di tengah situasi pandemi COVID-19 banyak anak Papua yang mengalami kesulitan mengakses pembelajaran karena minimnya layanan komunikasi hingga keterbatasan buku ajar. “Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) tak bisa dilakukan di 64 persen wilayah Papua karena tidak ada internet,” papar Jaleswari.
Dijelaskannya pemerintah telah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2020 dan Keputusan Presiden 20 Tahun 2020 sebagai ujung tombak kerja pemerintah pusat dalam membangun Tanah Papua. Kebijakan ini juga mengamanatkan pemenuhan hak-hak anak, salah satunya yaitu cita-cita mewujudkan “Papua Layak Anak”
Hasil kajian itu menyampaikan delapan rekomendasi , termasuk mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan khusus terkait dengan pemenuhan dan perlindungan anak sesuai dengan konteks masing-masing kabupaten, dan mendorong penyusunan program pemenuhan hak dan perlindungan anak yang berkesinambungan. [yl/ab]