Tautan-tautan Akses

Vaksin Bukan Jaminan, Senjata Utama Tetap Protokol Kesehatan


Reaksi seorang tentara saat disuntik vaksin COVID-19 buatan Sinovac Biotech di sebuah rumah sakit militer, di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, 9 Maret 2021. (Foto: Makna Zaezar/Antara Foto via Reuters)
Reaksi seorang tentara saat disuntik vaksin COVID-19 buatan Sinovac Biotech di sebuah rumah sakit militer, di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, 9 Maret 2021. (Foto: Makna Zaezar/Antara Foto via Reuters)

Pemerintah terus melaksanakan program vaksinasi kelompok masyarakat prioritas, sebelum tahapan bagi masyarakat umum tiba. Penerima vaksin diingatkan agar tetap mematuhi protokol kesehatan, bahkan dalam jangka panjang.

Meski sudah menerima vaksin, Prof Ridwan Amiruddin masih membatasi kegiatannya di kampus. Guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, ini paham vaksin bukan senjata pamungkas dalam menghadapi COVID-19.

Prof Ridwan Amiruddin. (Foto: Dok Pribadi)
Prof Ridwan Amiruddin. (Foto: Dok Pribadi)

“Vaksinasi ini adalah variabel pelengkap di dalam pemberian perlindungan kepada seseorang. Prinsip utamanya pada protokol kesehatan, itu yang paling penting, kemudian dilengkapi dengan vaksinasi. Vaksin ini bukan membasmi virusnya, karena dia bersifat protektif. Tetapi memberikan perlindungan saat benda asing, misalnya SARS Cov, masuk ke dalam tubuh,” kata Ridwan.

Ketua Perhimpunan Ahli Epidemologi Sulawesi Selatan ini menegaskan, protokol kesehatan mutlak diterapkan untuk perlindungan dari luar. Sedangkan vaksinasi berfungsi membantu perlindungan internal, sehingga meskipun terpapar, dampaknya bagi tubuh tidak seberat dibanding sebelum menerima vaksin.

Dengan lebih dari 267 juta penduduk, Indonesia membutuhkan sekurangnya 180 juta warga menerima vaksin. Dengan kecepatan pemberian seperti saat ini, vaksinasi akan membutuhkan waktu cukup lama. Padahal kekebalan komunal akan terbentuk jika pemberiannya dilakukan dalam waktu relatif bersamaan. Karena itulah, Ridwan memastikan penerapan protokol kesehatan tetap menjadi tulang punggung dalam penanggulangan COVID-19, bersamaan dengan apa yang dia sebut sebagai vaksin sosial.

“Vaksin sosial ini adalah bagaimana perilaku sosial yang melindungi kita dari paparan COVID-19. Apa saja perilaku sosial itu? Misalnya menjaga jarak. Pertemuan padat di ruang tertutup itu mekanisme paling tinggi untuk mendapatkan paparan COVID. Setiap pertemuan, jangan tanggalkan masker,” pesan Ridwan mengenai sejumlah perilaku yang penting untuk terus diterapkan.

Perubahan Strategi Komunikasi

Protokol kesehatan memang menjadi isu penting setelah program vaksinasi dijalankan. Survei lembaga Parameter Politik yang dipublikasikan 22 Februari 2021 menyebut 36,8 persen dari 1.200 responden mengatakan jarang mencuci tangan. Sedangkan 37,4 persen jarang memakai masker dan 63,8 persen jarang menjaga jarak.

Orang-orang yang memakai masker pelindung duduk mengantre sebelum menerima dosis vaksin Sinovac, selama vaksinasi massal untuk lansia di Jakarta, 2 Maret 2021. (Foto: Reuters)
Orang-orang yang memakai masker pelindung duduk mengantre sebelum menerima dosis vaksin Sinovac, selama vaksinasi massal untuk lansia di Jakarta, 2 Maret 2021. (Foto: Reuters)

Secara umum, lembaga ini mencatat tingkat kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan hanya 54,8 persen. Sementara survei Center for Strategic and International Studies (CSIS) dan Knowledge Sector Initiative (KSI) pada periode yang relatif sama terhadap 800 responden di Jakarta dan Yogyakarta, menemukan fakta bahwa terjadi penurunan kepatuhan terhadap protokol kesehatan di kedua kota itu.

Dalam paparan data hasil penelitian pada Kamis (18/3), Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI) merekomendasikan adanya strategi komunikasi protokol kesehatan yang lebih variatif di Indonesia.

Sekretaris Jenderal AAI, Dian Rosdiana. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)
Sekretaris Jenderal AAI, Dian Rosdiana. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Sekretaris Jenderal AAI, Dian Rosdiana, menyebut kampanye pemerintah harus bisa memahami kondisi setiap kelompok masyarakat.

“Kita pastikan, apakah ada tata nilai yang memang bertentangan dengan protokol kesehatan tersebut. Kalau ada yang bertentangan, lalu kita identifikasi. Itu harus cukup jelas dan bersifat aksi, jangan bersifat normatif. Kalau normatif, tidak akan bisa diikuti atau dipatuhi,” ujarnya.

Pertama yang harus dipahami adalah karakter masyarakat, yang akan menentukan media komunikasi yang tepat.

“Kita tidak pernah mempunyai resep yang satu, silver bullet, yang bisa dipakai untuk semua komunitas. Temuan kami, bahwa setiap komunitas itu memerlukan strategi komunikasi yang berbeda, oleh sebab itu media komunikasinya juga berbeda,” tambahnya.

Vaksin Bukan Jaminan, Senjata Utama Tetap Protokol Kesehatan
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:28 0:00

Dian memberi contoh, di kalangan santri di Jawa Barat sudah ada kepercayaan bahwa COVID-19 memang ancaman nyata. Namun, untuk mencegah dan mengatasinya, mereka berpedoman pada nilai-nilai agama. Ada ajaran yang mereka percayai, bahwa bacaan-bacaan tertentu harus diamalkan jika terjadi bencana.

Pranata Sosial Menentukan

Menurut koordinator penelitian ini, Dr Suraya A. Afiff, ada lima daerah yang menjadi lokasi penelitian pada 14 September – 15 Desember 2020, yaitu Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali dan Sulawesi Selatan.

Koordinator penelitian AAI, Dr Suraya A. Afiff. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)
Koordinator penelitian AAI, Dr Suraya A. Afiff. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Para antropolog menegaskan, masyarakat berpikir dan bertindak sesuai pranata sosial.

“Bukan berarti individu hanya pasif menerima aturan dan norma sosial yang dikenakan pada dia, atau tidak aktif berpikir. Pilihan bertindak tidak begitu saja bisa bebas dari sistem aturan dan norma yang ada dalam pranata sosial di mana dia berada,” kata Suraya, pengajar di Universitas Indonesia.

Dia memberi contoh, masyarakat Indonesia yang pergi ke luar negeri bisa tiba-tiba tertib aturan, tetapi kembali abai ketika pulang. Itu adalah bukti bahwa pranata sosial yang berbeda mempengaruhi perilaku.

“Oleh karena pranata sosial adalah sistem norma dan aturan yang ditegakkan oleh kelompok. Ini alasannya mengapa kami dari AAI berpendapat pentingnya membangun strategi komunikasi ke depan tentang perubahan perilaku yang berbasis kelompok atau komunitas,” tambah Suraya.

Antropolog Universitas Padjajaran, Dr Selly Riawanty. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)
Antropolog Universitas Padjajaran, Dr Selly Riawanty. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Sementara antropolog Universitas Padjajaran Dr Selly Riawanty, yang membacakan sejumlah rekomendasi, menyebut salah satu yang penting di masyarakat Indonesia adalah keteladanan pejabat atau tokoh masyarakat. Di samping itu, pemerintah sebaiknya tidak terus menerus mengirim instruksi atau imbauan dari atas, tetapi juga harus membangun komunikasi.

“Dialog yang kami rekomendasikan. Perlu ada dialog dari atas ke bawah, kalau sekarang mungkin belum ada dialog, adanya adalah penyampaian pesan dari atas ke bawah,” kata Selly.

Pemerintah juga disarankan mengadaptasi materi edukasi agar lebih sesuai dengan setiap kelompok masyarakat. Koordinasi di tingkat masyarakat, kegiatan lebih sistematik, pendekatan kepada tokoh panutan adat, penyusunan rencana aksi bersama dari bawah dan penyediaan materi edukasi dalam bahasa setempat penting dilakukan. [ns/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG