Ratusan pasangan sesama jenis menikah di Thailand, Kamis (23/1) ketika negara tersebut menjadi negara terbesar di Asia yang mengizinkan pernikahan setara.
Pernikahan massal untuk kaum LGBTQ+ di Bangkok, ibu kota Thailand, yang diselenggarakan oleh kelompok kampanye Bangkok Pride dengan pemerintah kota, diperkirakan akan melibatkan ratusan pencatatan pernikahan seiring dengan berlakunya undang-undang tersebut.
Ariya "Jin" Milintanapa, seorang transpuan yang telah menunggu selama dua dekade untuk momen ini, mengatakan kepada AFP bahwa dia "sangat bersemangat."
“Hari ini penting bukan hanya bagi kami, tapi juga bagi anak-anak kami. Keluarga kami pada akhirnya akan menjadi satu,” katanya.
Thailand menempati peringkat tinggi dalam indeks kondisi hukum dan kehidupan LGBTQ+, serta sikap masyarakat. Dengan pencapaian ini, Thailand menjadi negara Asia Tenggara pertama yang mengizinkan pernikahan setara.
Rancangan undang-undang (RUU) pernikahan sesama jenis disahkan dalam pemungutan suara parlemen bersejarah pada Juni lalu, dan merupakan negara ketiga di Asia yang menyetujui RUU pernikahan sesama jenis setelah Taiwan dan Nepal.
Undang-undang tersebut diteken oleh oleh Raja Maha Vajiralongkorn pada Oktober dan mulai berlaku setelah 120 hari.
Undang-undang perkawinan kini menggunakan istilah netral gender sebagai pengganti “laki-laki”, “perempuan”, “suami”, dan “istri”, dan juga memberikan hak adopsi dan warisan kepada pasangan sesama jenis.
Lebih dari 30 negara di seluruh dunia telah melegalkan pernikahan bagi semua orang sejak Belanda menjadi negara pertama yang mengizinkan hubungan sesama jenis pada tahun 2001.
Dalam pemotretan untuk perayaan tersebut pekan lalu, Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra mengatakan, "Tidak peduli jenis kelamin Anda atau siapa yang Anda cintai, cinta tidak mengenal batas atau harapan. Setiap orang akan dilindungi berdasarkan undang-undang yang sama."
Thailand telah lama memiliki reputasi internasional dalam hal toleransi terhadap komunitas LGBTQ+. Jajak pendapat yang dilaporkan di media lokal menunjukkan dukungan publik yang luar biasa terhadap pernikahan yang setara.
Siritata Ninlapruek, seorang aktivis LGBTQ+, menggambarkan perjalanan ini sebagai perjuangan yang menantang dan pahit. “Saya sangat senang, tapi perjuangan saya untuk masyarakat terus berlanjut,” katanya.
Dia menekankan perlunya pengakuan identitas gender di luar jenis kelamin secara biologis. “Baik laki-laki, perempuan atau non-biner, orang harus mempunyai hak untuk mengidentifikasi sesuai keinginan mereka.” [ft/es]