Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengklaim upah minimum di Indonesia sudah terlalu tinggi jika menggunakan alat ukur internasional atau metode Kaits Index. Kata dia, besaran upah minimum di seluruh wilayah sudah melebihi median upah. Akibatnya, pengusaha tidak mampu menjangkau upah minimum dan berdampak negatif terhadap lapangan pekerjaan.
Upah minimum adalah upah yang ditetapkan pemerintah yang berlaku bagi buruh dengan masa kerja kurang dari satu tahun. Sedangkan upah median merupakan selisih antara 50 persen upah tertinggi dan 50 persen upah terendah di suatu wilayah. "Bahkan Indonesia menjadi satu-satunya negara dengan Kaits Index lebih besar dari 1, di mana idealnya berada pada kisaran 0,4-0,6 di bawah median upah," jelas Ida dalam konferensi pers daring, Selasa (16/11).
Ida Fauziyah menghitung besaran upah minimum rata-rata pada 2022 akan naik 1,09 persen. Perhitungan tersebut menggunakan indikator-indikator yang digunakan menghitung upah minimum berdasar data Badan Pusat Statistik. Antara lain pertumbuhan ekonomi, inflasi, hingga pengangguran terbuka. Sementara regulasi yang menjadi acuan yaitu Undang-undang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah No 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
"Tidak ada lagi upah minimum berdasarkan sektor (UMS). Namun demikian, UMS yang telah ditetapkan sebelum 2 November 2020 tetap berlaku hingga UMS tersebut berakhir atau upah minimum provinsi atau kabupaten telah lebih tinggi," tambahnya.
Ida mengatakan gubernur harus menetapkan upah minimum provinsi paling lambat pada 20 November 2021, sedangkan untuk upah minimum kabupaten/kota paling lambat 30 November 2021.
Ia menegaskan pembayaran upah minimum 2022 tidak boleh ditangguhkan dan perusahaan yang membayar di bawah upah minimum akan dikenai sanksi pidana. Ketentuan ini diatur dalam Undang-undang Cipta Kerja.
KSPI Tolak Kenaikan Upah Minimum Rata-Rata 1,09%
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menolak kenaikan upah minimum 2022 yang rata-rata sebesar 1,09 persen. Menurutnya, penerapan kebijakan upah yang baru ini lebih buruk dibandingkan dengan rezim orde baru. Ia juga mempertanyakan perhitungan pemerintah yang menggunakan batas atas dan bawah dalam pengitungan upah minimum.
"Kenaikan upah minimum dalam UU Cipta Kerja nilainya adalah inflasi atau pertumbuhan ekonomi. Tidak ada perintah dijabarkan dalam peraturan pemerintah," tutur Said Iqbal.
Said Iqbal menuding Kementerian Ketenagakerjaan melakukan tindakan inskontitusional dan permufakatan jahat karena menggunakan peraturan pemerintah yang tidak diatur dalam UU Cipta Kerja. Selain itu, kata dia, pengaturan upah minimum dengan menggunakan batas atas dan bawah tidak ditemui di negara-negara lain.
Iqbal menyebut sudah berkoordinasi dengan 60 federasi dan lima konfederasi serikat buruh untuk menggelar mogok nasional guna menolak kenaikan upah minimum ini.
APINDO Persilahkan Buruh Sampaikan Aspirasi
Sementara Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mempersilakan buruh menggelar mogok penolakan upah minimum. Namun, ia tidak menemui kegiatan mogok di perusahaan-perusahaan. Ia juga mengingatkan mogok yang dilakukan buruh agar sesuai dengan aturan yang berlaku.
"Mogok kerja yang diatur dalam undang-undang adalah mogok karena perundingan tidak tercapai di level perusahaan. Pekerja punya hak mogok, perusahaan berhak menutup pabrik," jelas Hariyadi kepada VOA, Rabu (17/11/2021).
Karena itu, Hariyadi mempertanyakan istilah mogok nasional yang digunakan Said Iqbal karena mogok menurut aturan hanya dilakukan di tingkat pabrik atau perusahaan.
Hariyadi juga setuju dengan kenaikan upah minimum 2022 yang rata-rata 1,09 persen. Menurutnya, kenaikan tersebut sudah cukup adil untuk buruh dan pengusaha. Ia beralasan upah minimum yang ada sebelumnya terlalu tinggi dan indikator penghitungan yang digunakan lemah. Apalagi kata dia, sekitar 57 persen buruh di Indonesia berpendidikan SLTP atau sekolah menengah. [sm/em]