Berbicara di Dewan Keamanan PBB tentang situasi di Somalia, Direktur Eksekutif UN Women Sima Bahous menyampaikan urgensi kuota 30 persen bagi perempuan di berbagai lembaga, dan perlunya undang-undang baru tentang kekerasan seksual.
“Kedua masalah ini menjadi prioritas utama PBB di Somalia,” tegasnya.
“Kuota itu tidak terpenuhi, keterwakilan perempuan justru turun, sementara kekerasan seksual meningkat. RUU Pelanggaran Seksual yang diadopsi dengan suara bulat oleh Dewan Menteri Somalia lima tahun lalu masih tak kunjung disahkan oleh parlemen. Sebaliknya, mereka yang menentang RUU itu mendorong RUU alternatif yang melegalkan perkawinan anak, menghilangkan batas usia seseorang untuk dapat memberi persetujuan, mengurangi jenis bukti yang dapat diterima dan menafikan hak-hak para penyintas,” ujar Bahous.
Bahous juga mengatakan “alih-alih prevalensi kekerasan seksual yang dilakukan dengan impunitas tingkat tinggi dan serangan yang menarget perempuan dalam kehidupan publik di Somalia, sejak tahun 2014 tidak ada daftar Komite Sanksi di Somalia yang menyebutkan tentang kekerasan seksual atau hak-hak perempuan, termasuk untuk tiga individu Al Shabab. Sanksi yang diberlakukan tetap buta gender.”
Ada Kemajuan Signifikan
Meskipun demikian Wakil Utusan Khusus Sekjen PBB untuk Somalia Anita Kiki Gbeho mengatakan pemerintah Somalia membuat kemajuan yang signifikan untuk memajukan prioritas nasional, termasuk mempertahankan kerjasama erat dengan sejumlah negara dalam upaya melawan Al Shabab.
Ia menambahkan bahwa “peluncuran Rencana Aksi Nasional di Somalia” berjalan tepat waktu karena memberi kerangka kerja untuk mengatasi tantangan yang masih mengganjal peran serta perempuan Somalia.
“Untuk itu meningkatkan keterwakilan perempuan hingga 30 persen di semua aspek kehidupan merupakan suatu keniscayaan, dan hal ini sedianya tidak saja dikodifikasikan dalam kerangka hukum dan pemilu yang relevan, tetapi juga dilindungi oleh semua entitas,” tegasnya. [em/jm]
Forum