Pihak berwenang Ukraina melaporkan bahwa Rusia meluncurkan sejumlah besar rudal dan 60 pesawat nirawak ke sejumlah infrastruktur energi Ukraina pada Jumat (29/3). Serangan tersebut merusak tiga pembangkit listrik dan menyebabkan pemadaman listrik secara massif.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy menuduh Rusia memang mengincar dua pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Moskow juga disebut mengancam akan menimbulkan bencana lingkungan di Ukraina dan Moldova yang berdekatan.
Pada Maret, Rusia melancarkan serangkaian intensif terhadap Ukraina. Berdasarkan laporan, dalam pekan terakhir, Moskow meluncurkan lebih dari 190 rudal dan 140 drone Shahed. Akibat serangan tersebut, infrastruktur energi Ukraina mengalami kerusakan yang cukup signifikan dengan kerugian yang diperkirakan mencapai lebih dari $11,5 miliar, menurut estimasi dari Kementerian Energi Ukraina.
Perusahaan listrik swasta terbesar di Ukraina, DTEK, melaporkan bahwa diperlukan berbulan-bulan untuk memperbaiki kerusakan pada sejumlah pembangkit listrik tersebut. Sementara itu, pohak berwenang menyatakan bahwa dibutuhkan bertahun-tahun untuk memperbaiki PLTA Dnipro, yang dibombardir sebanyak delapan kali dalam seminggu terakhir.
Mengomentari kerusakan yang terjadi, Aura Sabadus dari lembaga kajian Inggris, Independent Commodity Intelligence Services, mengatakan kepada VOA bahwa Rusia memiliki pengetahuan tentang target yang tepat untuk diserang demi menimbulkan kerusakan yang paling signifikan.
“Hal yang luar biasa adalah mereka tahu persis apa yang harus diserang, yang merupakan indikasi bahwa mereka bekerja sama dengan spesialis energi di pihak mereka sendiri yang mengetahui persis sistem Ukraina dan mungkin membantu militer untuk menyerang infrastruktur penting di Ukraina,” kata Sabadus.
Baik sistem energi Rusia maupun Ukraina dibangun pada masa Soviet. Pakar energi masing-masing negara mungkin mengetahui kerentanan sistem transmisi dan pembangkit energi negara lain, katanya.
Dia juga menunjukkan bahwa para ahli energi Rusia diketahui telah membantu militer Rusia dalam hal lain. Misalnya, perusahaan energi Rusia Rosatom beroperasi di pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Zaporizhzhia yang dikuasai militer Rusia.
Banyak pengamat memperkirakan Rusia akan menyerang sistem energi Ukraina, seperti yang terjadi pada tahun lalu. Namun, bantuan dari sekutu membuat Ukraina lebih siap menghadapi gangguan energi.
“Situasinya jauh berbeda dengan musim pemanasan tahun lalu, ketika terjadi kelangkaan peralatan,” kata Volodymyr Kudrytskyi, kepala operator jaringan listrik Ukraina Ukrenergo, dalam pidato video pada Selasa. Kudrytskyi menyoroti bahwa tantangan terbesar saat ini adalah waktu yang dibutuhkan untuk melakukan perbaikan.
Ukraina juga mampu meningkatkan impor listrik dari Eropa. Tepat sebelum perang, Ukraina memutuskan sambungan dari jaringan listrik Rusia dan mencapai sinkronisasi permanen dengan jaringan listrik Eropa pada akhir 2023. Hal ini memungkinkan Ukraina meningkatkan impor listrik dari Eropa secara signifikan.
Meskipun telah melakukan antisipasi tersebut, Ukraina masih rentan terhadap serangan. Serangan rudal baru-baru ini telah menyebabkan ratusan ribu orang kehilangan aliran listrik, menimbulkan dampak sosial dan mendorong pemerintah Ukraina mendesak para sekutu untuk menyediakan amunisi yang sangat dibutuhkan bagi pertahanan udara.
Duta Besar AS untuk Ukraina Bridget Brink di X menyebut serangan Rusia “biadab”. Ia menambahkan, “Bantuan kita dibutuhkan sekarang.” Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell menyebut serangan itu sebagai “kejahatan perang” dan mendesak Uni Eropa untuk mempercepat pengiriman bantuan militer ke Ukraina.
Rusia diketahui menggunakan energi sebagai senjata di Eropa dan melanjutkan taktiknya hingga saat ini, kata rekan senior Universitas Pennsylvania Benjamin Schmitt, yang menjabat sebagai penasihat keamanan energi Eropa di Departemen Luar Negeri AS.
Melalui serangan-serangan tersebut, kata Schmitt, Putin juga ingin menguras pertahanan udara Ukraina sementara Ukraina tidak dipenuhi oleh pasokan AS.
Pada saat yang sama, Ukraina semakin meningkatkan serangan drone terhadap kilang minyak Rusia. Menurut berbagai perkiraan, serangan tersebut telah menghancurkan sekitar 10-14 persen kapasitas kilang minyak Rusia.
Pekan lalu, Financial Times melaporkan bahwa AS meminta Ukraina untuk tidak lagi menyerang kilang minyak Rusia. AS tidak membenarkan atau membantah laporan tersebut. Namun juru bicara Departemen Luar Negeri Matthew Miller mengatakan pada konferensi pers pada Senin bahwa “sejak awal perang ini, kami selalu menyatakan bahwa kami tidak mendorong atau mendukung Ukraina melakukan serangan di luar wilayahnya sendiri.”
Menurut Schmitt, kemungkinan serangan terhadap fasilitas minyak Rusia bisa dianggap sebagai upaya Ukraina untuk mengimbangi kurangnya efektivitas sanksi-sanksi Barat terhadap minyak Rusia. [ah/ft]
Forum