Tautan-tautan Akses

Trump Kunjungi Korsel di Tengah Kekhawatiran Provokasi Pyongyang 


Presiden Donald Trump di Gedung Putih, 31 Oktober 2017.
Presiden Donald Trump di Gedung Putih, 31 Oktober 2017.

Mayoritas warga Amerika kini memandang Korea Utara sebagai ancaman paling dekat bagi Amerika Serikat. Presiden Donald Trump akan mengunjungi negara saingan Korea Utara, yakni Korea Selatan tanggal 7-8 November mendatang.

Kunjungan itu merupakan persinggahan kedua dalam lawatannya ke Asia, dan bagaimana menghadapi pengembangan senjata nuklir dan rudal balistik yang dilakukan oleh Pyongyang akan menjadi agenda dominan dalam pembicaraannya dengan para pemimpin dalam kunjungan itu.

Menjelang lawatan Presiden Donald Trump, sebagian anggota kabinetnya telah berada di Asia, mempersiapkan diskusi tingkat tinggi mengenai langkah-langkah yang perlu diambil mengenai Korea Utara.

Menteri Pertahanan Amerika, Jim Mattis, mengatakan, “Tujuan kami bukan perang, melainkan denuklirisasi semenanjung Korea secara menyeluruh, terverifikasi, dan tidak dapat diubah.”

Ada kecemasan yang semakin dalam di kedua sisi Pasifik tentang apa yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu.

Jae Ku, direktur US-Korea Institute, sebuah lembaga studi hubungan Amerika-Korea di Universitas Johns Hopkins di Washington, D.C., berpendapat, “Saya kira kita akan sampai pada titik di mana saya menyamakannya dengan semacam Krisis Misil Kuba. Ada periode waktu yang terbatas bagi kita di mana kita harus mengambil keputusan, baik keputusan politik atau militer. Itu benar-benar akan mengubah pemandangan politik semenanjung Korea.”

Sejauh ini, presiden Amerika dan pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un, telah terlibat dalam retorika yang sangat panas.

Thomas Countryman, mantan wakil menteri luar negeri bidang pengendalian persenjataan dan keamanan internasional. Dia mengatakan, “Hinaan yang dilontarkan bolak-balik, mengurangi legitimasi Amerika Serikat dan presiden Amerika Serikat. Saya terganggu melihat seorang presiden Amerika tenggelam ke tingkat penghinaan dan ancaman yang sama yang telah kita saksikan dari Korea Utara selama bertahun-tahun.”

Sebagian kalangan di Korea Selatan, termasuk partai konservatif yang beroposisi, berusaha keras untuk tidak hanya memiliki senjata nuklir taktis Amerika yang dibawa kembali ke negara itu, tetapi juga dukungan Amerika untuk memungkinkan Seoul memiliki nuklir sendiri.

Hong Joon Pyo, ketua Partai Kebebasan Korea, berpendapat, “Jika kedua negara (AS dan Korea Selatan) menggelar kembali senjata nuklir taktis, saya yakin hal itu tidak hanya akan menunjukkan aliansi yang kuat kepada rakyat kedua negara, tetapi juga akan mencegah Kim Jong-un berkeinginan lebih lanjut untuk memprovokasi.”

Dr. Jae Ku, direktur Lembaga Amerika-Korea, menambahkan, “Kita merasakan adanya kecemasan. Kita merasakan ketakutan itu. Kita merasakan bahwa ini adalah sesuatu yang berbeda yang dihadapi oleh rakyat Korea. Jadi, sebagai akibatnya, saya pikir mereka menyukai gagasan bahwa senjata nuklir taktis dapat memberikan rasa aman bagi mereka dan mereka tidak memikirkan semua masalah yang mungkin timbul dari penggelaran senjata nuklir itu.”

Presiden Trump akan terbang ke Beijing dari Korea Selatan. Di sana ia akan membahas ketegangan yang meningkat di semenanjung Korea dengan Presiden Xi Jinping. China adalah satu-satunya sekutu penting Korea Utara.

China telah menyatakan kefrustrasiannya dengan negara tetangganya yang lebih kecil tetapi semakin provokatif itu. Presiden Trump diperkirakan akan meminta agar China menerapkan tekanan lebih keras terhadap Kim Jong-un. [lt/ab]

XS
SM
MD
LG