Tautan-tautan Akses

Trump: Kekerasan di Afghanistan, Bukti Tak Ada Gunanya Berunding dengan Taliban


Presiden Amerika Serikat Donald Trump saat berada di Davos, Swiss, 25 Januari 2018. (Foto: dok).
Presiden Amerika Serikat Donald Trump saat berada di Davos, Swiss, 25 Januari 2018. (Foto: dok).

Presiden Donald Trump mengecam gelombang serangan maut di Afghanistan pekan lalu. Ia mengatakan Washington tidak ingin berunding dengan Taliban, yang membunuh banyak perempuan dan anak-anak tak berdosa. Pernyataan itu dilontarkan Trump, sementara laporan baru mengindikasikan bahwa operasi militer Amerika yang ditingkatkan di negara yang diporak-porandakan perang itu gagal meningkatkan kemampuan pemerintah Afghanistan untuk melindungi rakyatnya sendiri.

Empat serangan maut dalam waktu sekitar sepekan, termasuk serangan bunuh diri besar-besaran dengan bom mobil di Kabul yang menewaskan 150 orang, mendorong pemerintah Afghanistan untuk menetapkan hari berkabung nasional. Taliban menyatakan berada di balik dua serangan di Kabul. Afghanistan masuk agenda pembicaraan sewaktu Presiden Donald Trump bertemu para anggota Dewan Keamanan PBB hari Senin (30/1).

"Orang-orang tak bersalah dibunuh di sana sini. Serangan bom di tengah-tengah anak-anak, di tengah-tengah keluarga, pengeboman, pembunuhan di berbagai penjuru Afghanistan. Jadi kami tidak ingin berbicara dengan Taliban,” kata Presiden Trump.

Pada masa lalu, Amerika tidak mengesampingkan disertakannya Taliban dalam rencana pembicaraan perdamaian. Ketika ditanya mengapa Taliban kini mengaku bertanggungjawab atas berbagai pembantaian, Michael Kugelman dari lembaga kajian Wilson Center melalui Skype mengatakan, "Taliban ingin melemahkan negara Afghanistan dengan cara apapun. Dan Taliban ingin melakukannya sekarang dengan membuktikan bahwa negara Afghanistan tidak dapat melindungi rakyatnya. Negara tidak dapat melindungi keamanan dan ini mencakup warga sipil.”

Presiden Trump meningkatkan kehadiran militer Amerika di negara tersebut. Sekarang ini ada 11 ribu tentara Amerika yang ditempatkan di Afghanistan, 16 tahun setelah Amerika menginvasi negara itu menyusul serangan teroris 11 September. Sebagian pakar menyatakan serangan-serangan teroris terhadap warga sipil sedang direncanakan di perbatasan, di Pakistan. Kugelman mengatakan Amerika kemungkinan besar mencari cara-cara untuk meningkatkan tekanan terhadap Pakistan agar menghentikan serangan-serangan, tetapi Amerika sendiri harus mengambil sikap hati-hati.

Michael Kugelman dari Wilson Center menambahkan, "Menurut saya Amerika tidak akan menetapkan Pakistan sebagai negara yang mensponsori teror. Ini akan menjadi poin tekanan sangat dramatis, yang kemungkinan bukan hanya tidak akan efektif, tetapi ini juga bisa berarti bahwa Pakistan akan melakukan aksi pembalasan dengan menutup jalur logistik di wilayahnya yang digunakan pasukan NATO untuk mengakses Afghanistan.”

Dengan tingginya tingkat kekerasan di Afghanistan, tampaknya konflik terlama dalam sejarah Amerika ini tidak akan berakhir dalam waktu dekat. [uh/ab]

XS
SM
MD
LG