Banyak pelaku usaha wisata yang sekarang ini mengeluhkan tentang matinya kegiatan wisata di daerah mereka. Tetapi berbagai restriksi terkait wabah virus corona serta protokol kesehatan yang perlu dipatuhi juga memicu kreativitas di kalangan pelaku usaha wisata di tengah pasang surutnya pariwisata pada masa pandemi COVID-19 ini. Sejumlah destinasi dan jenis wisata ‘baru’ kini ditawarkan sebagai pilihan bagi para pelancong, seperti yang disampaikan beberapa pelaku wisata di Aceh dan Yogyakarta.
Pandemi COVID-19 telah berkecamuk di berbagai penjuru dunia selama lebih dari setengah tahun ini. Semua sektor usaha termasuk pariwisata merasakan imbas berbagai restriksi terkait pandemi tersebut.
Fadhlan Amini, seorang pelaku usaha wisata di Banda Aceh, merasakan pukulan tersebut. Usai kedatangan wisatawan internasional yang justru sedang memuncak di Aceh pada awal tahun ini, berbagai pembatasan langsung menyurutkan pariwisata di provinsi tersebut sejak Maret hingga sekarang, lanjutnya.
Belakangan, ketika pemerintah pusat memberlakukan agenda new normal atau kebiasaan baru, jelas Fadhlan.
“Muncullah satu tendensi atau tren dari masyarakat lokal untuk memberanikan diri mengunjungi destinasi-destinasi lokal. Seperti beberapa titik persawahan yang ada di kawasan Bireun, kemudian mengunjungi pantai dan sungai-sungai yang boleh dikatakan sebagai destinasi baru karena selama ini tidak begitu populer. Secara keseluruhan, yang menjadi favorit pada saat awal new normal itu adalah ecotourism destination,” tuturnya.
Namun, Fadhlan juga melihat pariwisata di Aceh yang kini kembali meredup seiring bertambah banyaknya korban dan kasus COVID-19. Banyak hotel kosong, bahkan telah ditumbuhi rumput liar, usaha homestay sepi dari tamu, kendaraan wisata dikandangkan di tempat parkirnya kalau tidak berpindah pemilik, dan pelaku usaha beralih ke bidang yang tidak pernah mereka sentuh sebelumnya.
Fadhlan setidaknya tidak perlu berpaling seperti itu. Bersama lembaga Majelis Pariwisata Aceh yang ia dirikan bersama teman-temannya sesama para praktisi wisata senior, mereka mendapat kepercayaan dari Kementerian Pariwisata untuk bekerja sama dengan Fakultas Vokasi di Universitas Muhammadiyah Aceh, di antaranya mengadakan workshop bagi para calon pemandu wisata.
Keadaan sulit yang sama juga dirasakan oleh Windry Tora Simamora, pemilik Eta Holiday di Yogyakarta. Ia mengatakan wisata sekarang mati suri. Agar tetap bertahan, perlu kreativitas dari pelaku usaha, jelasnya. Bisnis yang dipimpinnya sendiri masih mendapat kepercayaan beberapa
DPRD dalam mengurusi penyelenggaraan rapat-rapat atau pertemuan dengan berbagai institusi lokal lainnya.
Berwisata sambil berolahraga, menangkal COVID
Sementara itu seorang pemandu wisata freelance di Yogyakarta, Cahyo Triono mengamati, setelah pandemi merebak, para wisatawan sekarang mulai memperhatikan kesehatan dalam berwisata, sehingga mereka kemudian mengikuti apa yang menjadi protokol kesehatan terkait COVID-19.
Misalnya, memilih hotel di kawasan pedesaan atau tempat-tempat yang tidak banyak orang di sekitar mereka. Selain itu, mereka beralih ke wisata yang memiliki manfaat untuk menangkal COVID, yakni berwisata sambil berolahraga, kata pemilik lisensi tour guide untuk memandu wisata lokal dan tour leader untuk membawa wisatawan ke luar negeri ini. Cahyo menyebut salah satu contoh yang dipandunya adalah wisata bersepeda yang sangat banyak diminati sekarang ini, selain camping, hiking dan trekking serta berbagai olahraga lain yang menjauhi kerumunan orang.
Wisatawan antara lain diajak keluar masuk kampung, berjeda di bantarai sungai sambil menyaksikan kearifan lokal atau menikmati hidangan sederhana di tengah perjalanan mereka, jelas Cahyo.
Beberapa tawaran maupun permintaan wisatawannya antara lain, “Kalau mereka memang suka dengan downhill misalnya, dengan sepeda gunung ya kita bisa ajak mereka tur di kaki Gunung Merapi. Ada beberapa trek di Jogya, misalnya trek dari kawasan Turgo. Juga ada trek di daerah kaki Gunung Merapi sebelah tenggara, juga ada cukup banyak di sana. Kemudian kalau untuk enduro, naik turun bukit di kawasan pegunungan Seribu tuh juga banyak diminati oleh wisatawan. jadi kita naik bukit, kemudian turun bukit lagi, mengunjungi beberapa candi itu juga cukup bagus untuk mereka,” ungkapnya.
Keliling kota sambil menikmati kopi
Ketiadaan kegiatan selama hampir tiga bulan awal merebaknya pandemi, memicu kreativitas Wiwit Bejo Kurniawan, seorang tour leader yang juga memiliki bisnis transportasi bus wisata. Ia mengamati orang mulai jenuh di rumah dan banyak penggemar kopi. Warung-warung kopi di Indonesia di manapun, tetap didatangi para penggemar kopi, tua maupun muda. Ia lantas menggagas program ‘Coffee on the Bus.’
Sambutannya luar biasa, kata Wiwid dengan penuh semangat. Masyarakat Yogya banyak yang kemudian tertarik untuk liburan sekaligus ngopi.
“Dulu awalnya cuma keliling kota Yogya, sehari empat kali, jam 9, jam 13, 16 dan 19. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, orang gitu-gitu aja bosan akhirnya ya kita coba cari spot-spot foto. akhirnya kita ada ke bandara YIA (Yogyakarta International Airport), bandara baru Yogya, kita di sana ada spot-spot foto bagus. Terus ada sunset Plaosan, ada Bukit Bintang, ada juga Svargabumi Borobudur area, Borobudur Village," tukasnya.
Ia menambahkan, "Di situlah banyak orang yang penasaran ngopi di dalam bis. Mencoba sesuatu yang berbeda, ngopi di rumah sudah biasa ngopi di kedai biasa, sudah biasa. Ngopi di dalam bis, naah, orang penasaran.”
Di dalam bus, pengunjung disuguhi pilihan berbagai kopi dari seluruh Indonesia, selain minuman lain untuk yang tak suka kopi, jelas Wiwid. Yang membuat menarik, peserta wisata ini juga mendapat edukasi tentang kopi dari dalam maupun luar negeri. Tak ketinggalan, ujarnya, di bis juga diputarkan musik-musik tentang Yogya.
Yang jelas, perjalanan wisata yang dilakukan para pelaku usaha ini tetap mengindahkan protokol kesehatan. Seperti kata Wiwid, semua tamu wajib bermasker, dicek suhu tubuhnya, tangan disemprot penyanitasi dan penerapan jarak di dalam bus.
Nah, kalau Anda sendiri, jenis wisata apa yang ingin Anda nikmati? [uh/ab]