Tautan-tautan Akses

Transmigrasi: Program yang Mengubah Wajah Indonesia


Model rumah asli transmigran tahun 1970-an yang masih berdiri sampai saat ini di Lampung Tengah. (Foto: Sutopo Adi)
Model rumah asli transmigran tahun 1970-an yang masih berdiri sampai saat ini di Lampung Tengah. (Foto: Sutopo Adi)

Transmigrasi begitu popular di era Orde Baru. Kala itu, pemerintah meyakini program ini strategis sebagai upaya pemerataan penduduk, peningkatan produksi pertanian, dan keamanan negara. Bagaimana dengan saat ini?

Kawasan Bandar Sakti, Lampung pada tahun 1974 masih berupa hutan ketika Dasri datang bersama sembilan anaknya. Tiga bulan sebelum itu, suaminya tiba bersama rombongan Transmigran Angkatan Darat (Trans AD). Rombongan tentara sekaligus kepala keluarga ini membabat hutan dari nol, menyiapkan lahan pertanian, dengan dukungan logistik awal dari pemerintah. Perjuangan itu tidak mudah.

“Saya pilih transmigrasi karena tidak punya warisan di Jawa, padahal anak saya sembilan. Sebelum berangkat suami saya bahkan sudah bilang, kalau saya ikut program Trans AD dia mau memilih pulang kampung ke Jawa Timur. Tapi akhirnya berangkat juga,” kenang Dasri.

Dasri adalah perempuan asal Jawa Timur, Matasan sang suami bertugas di kesatuan Batalyon Zeni Tempur di Magelang, Jawa Tengah pada tahun 70-an.

Trans AD adalah salah satu model transmigrasi yang dikembangkan pemerintah Orde Baru, dengan sasaran para anggota TNI (ABRI ketika itu) dan kepolisian. Selain itu, tentu saja pemerintah juga mengirim para petani melalui program ini.

Dasri dan anaknya Yuswantoro bersantai di teras depan rumah mereka. (Foto courtesy: Sutopo Adi)
Dasri dan anaknya Yuswantoro bersantai di teras depan rumah mereka. (Foto courtesy: Sutopo Adi)

Dasri, dan ratusan ribu transmigran asal Pulau Jawa membangun Lampung dari nol. Tidak ada jalan, tanpa listrik, tanpa aliran air bersih. Mereka tinggal di Kampung Tanjung Anom, Kecamatan Terusan Nunyai, Kabupaten Lampung Tengah. Begitu terpencilnya wilayah mereka saat itu, bahkan untuk menonton televisi mereka harus jalan kaki 1 kilometer.

“Namanya kita bukan orang tani asli, belajar dulu kita jadi petani bersama anak nomor 1, 2, dan 3 yang sudah besar. Kampungnya masih sepi, belum ada lampu. Kalau mau nonton televisi, anak-anak saya kasih uang saku seratus rupiah untuk beli es balon satu, dan itu harus ke Bandar Sakti. Nonton televisinya di rumah orang lain,” kenang Dasri.

Transmigrasi atau pemindahan penduduk dari kawasan padat ke wilayah jarang penduduk, dirintis pemerintah penjajahan Belanda sejak awal abad 19. Tujuannya adalah menyediakan tenaga kerja di kawasan perkebunan di luar Pulau Jawa. Pada tahun 1929, sudah ada lebih dari 260 ribu orang mengikuti program ini. Presiden Soekarno mulai melaksanakan program yang sama pada tahun 1950, dengan tujuan Kalimantan, Sumatera, Sulawesi hingga Papua.

Soeharto menggenjot upaya tersebut, hingga pada 1984, sudah ada kurang lebih 2,5 juta penduduk menjadi transmigran. Lampung adalah salah satu provinsi tujuan utama transmigrasi. Data sensus menunjukkan, pada 2010 ada 15,5 juta transmigran di Sumatera dengan 5,7 juta diantaranay ada di Lampung. Sekitar 2,6 juta trasmigran ada di Kalimantan, dan sekitar 1 juta di Papua. Total jumlah seluruh transmigran di Indonesia mencapai 20 juta jiwa.

Kini, 44 tahun berlalu, dan Bandar Sakti telah menjadi kota kecil. Industri berbasis perkebunan, seperti buah dalam kaleng, tepung tapioka, dan gula pasir hadir menjadi daya tarik tenaga kerja tersendiri. Anak Dasri nomor sepuluh, Yuswantoro yang lahir di Lampung, kini bekerja di salah satu pabrik gula dengan gaji cukup, dan tak perlu bersusah payah mengolah lahan seperti kedua orang tuanya.

Perumahan karyawan pabrik gula di Lampung Tengah. (foto Sutopo Adi).
Perumahan karyawan pabrik gula di Lampung Tengah. (foto Sutopo Adi).

“Listrik masuk kalau nggak salah sekitar tahun 90-an, Presidennya masih Pak Harto. Televisi hitam putih lalu ganti yang berwarna. Kalau anak-anak transmigran Trans AD, sekarang bekerja di perusahaan, bertani, ada juga yang jadi tentara atau polisi. Untuk sekarang, secara ekonomi di perdesaan baik kondisinya,” tutur Yuswantoro.

Setidaknya ada tiga pabrik gula besar di Lampung, dengan masing-masing memiliki luas perkebunan antara 25 ribu hingga 30 ribu hektar. Selain itu, ada pula perkebunan nanas dengan luas lahan lebih kurang 33 ribu hektar. Lampung juga mengembangkan perkebunan kopi, lada, kakao, kelapa, kelapa sawit dan cengkeh. Sektor perkebunan ini didukung sepenuhnya oleh gelombang transmigran yang datang di era Orde Baru.

Industri ini kini juga menjadi daya tarik bagi banyak pemuda dari Jawa untuk merantau ke Sumatera, khususnya Lampung. Sutopo Adi, misalnya yang sejak lulus sekolah kejuruan di Yogyakarta tahun 2008, memilih berebut manisnya industri gula di Lampung.

“Ada lahan luas disini, pabrik juga dijalankan dengan mesin modern sehingga menghasilkan produk gula yang bagus dan berkembang pesat. Meski jauh dari kota besar, karyawan dimanjakan dengan upah yang cukup, bonus dan bahkan disediakan perumahan,” kata Adi memberi alasan.

Warga melintas di jalan desa Tanjung Anom, Lampung Tengah. (Foto: Sutopo Adi)
Warga melintas di jalan desa Tanjung Anom, Lampung Tengah. (Foto: Sutopo Adi)

Generasi kedua para transmigran dan para perantau kini tidak lagi menggantungkan nasib dengan mengolah lahan. Pemerintah sendiri, menyadari bahwa transmigrasi dengan tujuan utama pertanian tak lagi sepopuler dulu. Apalagi, kini tidak ada lagi model transmigrasi bedhol desa seperti di era Soeharto. Model ini pernah diterapkan ketika pemerintah membangun waduk Gajah Mungkur di Wonogiri dan Waduk Kedung Ombo. Ketika itu, ratusan ribu penduduk dalam beberapa kecamatan bahkan bisa berpindah pada saat bersamaan.

Sekretaris Jenderal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) Anwar Sanusi memaparkan, tahun ini pemerintah menargetkan ada 1.000 keluarga peserta transmigrasi. Dibanding era Orde Baru, jumlah itu tentu saja jauh di bawah, seiring dengan turunnya popularitas program itu sendiri.

Ditemui di Yogyakarta hari Rabu (12/9) siang, Anwar Sanusi mengatakan, di luar persoalan jumlah, transmigrasi sekarang dikembangkan dengan konsep yang berbeda.

“Peta baru transmigrasi jelas ada. Konsepnya bukan semata-mata memindahkan penduduk dari wilayah padat ke kurang padat, tetapi bagaimana kita menumbuhkan kawasan itu sebagai kota mandiri. Karena itu transmigran kita kombinasikan, berapa persen yang berasal dari wilayah asal dan dan berapa yang berasal dari wilayah tujuan. Komposisinya bisa 70 persen warga asli berbanding 30 persen transmigran,” ujarnya.

Anwar Sanusi juga menambahkan, sejak awal trasmingrasi membantu daerah untuk tumbuh dan berkembang. Namun kini, fokusnya tidak hanya pada sektor pertanian, tetapi juga perkebunan, peternakan dan bahkan jasa. “Sektor jasa ini adalah untuk daerah-daerah yang memang membutuhkan bidang jasa tertentu dan siap menerima transmigran,” ujarnya.

Gapura desa di Tanjung Anom, Lampung Tengah. (Foto Sutopo Adi)
Gapura desa di Tanjung Anom, Lampung Tengah. (Foto Sutopo Adi)

Data Kemendes PDTT mencatat tahun ini telah dilakukan penandatanganan kerja sama dari 43 badan usaha dalam investasi pasca panen di daerah transmigrasi dengan nilainya mencapai Rp16 triliun. Dari sisi kewilayahan, transmigrasi telah menciptakan 1.200 desa definitif, 400 kecamatan, 120 kabupaten, dan 2 ibu kota provinsi baru di Indonesia.

Transmigrasi, program warisan masa kolonial Belanda ini telah mengubah wajah Indonesia dalam beberapa abad terakhir. Tidak selalu mulus, konflik juga sering terjadi. Salah satunya memicu Presiden Jokowi menghentikan pengiriman transmigran ke Papua sejak 2015. Namun, di luar soal dampak positif dan negatifnya, keberagaman penduduk di setiap pulau saat ini antara lain disumbang oleh program, yang di masa Orde Baru kadang dilaksanakan dengan paksaan ini. [ns/em]

Transmigrasi: Program yang Mengubah Wajah Indonesia
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:03:31 0:00

Recommended

XS
SM
MD
LG