Momentum hari raya Idul Fitri seringkali menjadi saat yang baik untuk saling bersilahturahmi sambil saling bermaafan. Momen yang berbahagia ini masih bisa dirasakan sebagian warga masyarakat yang menjadi korban lumpur Lapindo, meskipun nuansanya berbeda pasca-musibah lumpur panas yang menenggelamkan kampung halaman mereka.
Selain banyak warga maupun sanak keluarga yang terpencar, kondisi ekonomi yang semakin sulit akibat belum dibayarkannya ganti-rugi, membuat warga korban lumpur harus berlebaran dengan kondisi seadanya.
Tahun ini adalah kelima kalinya Nur Aini mendatangi tanggul lumpur Lapindo di Porong Sidoarjo. Bukan untuk berwisata maupun melihat-lihat lokasi semburan lumpur panas, tetapi melakukan ziarah kubur pada makam leluhur. Setiap mendekati lebaran hingga pada hari Lebaran, kesedihan tampak di wajah Nur Aini karena harus berziarah di makam, yang letaknya sudah tidak tampak lagi karena terpendam oleh lumpur Lapindo.
Nur Aini mengatakan ziarah kubur merupakan rutinitas yang selalu dilakukan setiap tahun menjelang datangnya Lebaran, meskipun saat ini doa yang dipanjatkan harus dilakukan di tempat yang tidak semestinya. “Tujuannya untuk mengenang almarhum-almarhumah yang sudah wafat mendahului kita. Mau bagaimana lagi, memang dari sini tidak ada tempat lain, harus di tanggul ini. Kami dari warga Jatirejo, juga warga Siring”, ujar Nur Aini, korban Lumpur Lapindo asal Desa Jatirejo.
Hal yang sama juga dilakukan korban lumpur Lapindo asal Desa Renokenongo, yaitu berziarah kubur ke tanggul lumpur, meski jarak makam dengan tempat tinggal yang baru lebih jauh.
Pitanto, perwakilan warga yang menempati permukiman baru di Desa Kedung Kampil, Porong mengatakan warga harus membiasakan diri dengan situasi di tempat tinggal yang baru, meski tidak lebih baik dari kampung halaman lama, yang mereka tinggali sebelum adanya lumpur. “Ya, kita menyesuaikan, karena kondisi di kampung dengan yang di permukiman memang jauh berbeda, tapi di sini karena kondisi seperti ini, kita harus memaksakan diri untuk beradaptasi dengan kehidupan baru di sana," tutur Pitanto, korban lumpur asal Desa Renokenongo.
Lumpur panas Lapindo tidak hanya menenggelamkan permukiman warga, makam para leluhur, maupun perekonomian warga yang telah mapan, namun juga mengubah kehidupan sosial serta budaya masyarakat desa yang sangat dijunjung tinggi seperti gotong royong dan tolong menolong.
Irsyad, warga Desa Besuki Timur mengaku kehilangan banyak kerabat dan tetangga, karena harus terpisahkan secara fisik maupun batin. Silahturahmi mulai luntur dan kekerabatan mulai terpecah akibat ganti rugi yang belum terbayarkan.
“Saat ini warga Desa Besuki hanya tertinggal di Besuki Timur yang hanya tujuh RT, jadi seakan-akan merayakan ini hanya sekelompok tujuh RT saja. Ini sudah kehilangan yang 18 RT. Ditambah lagi, ada masalah-masalah keluarga, dengan adanya kasus Lapindo ini, penyelesaiannya berbentuk jual-beli, bukan ganti-rugi," demikian komentar Irsyad. "Ini berkaitan dengan ahli waris, sehingga ada pihak-pihak yang tidakpuas, sehingga pecahlah persaudaraan. Ketika persaudaraan pecah gara-gara Lapindo ini, ketika di hari raya, mereka masih gak bisa ketemu," tambah mantan warga Besuki Timur ini.