Ketua Presidium MER-C Sarbini Abdul Murad menyambut Farid, salah satu dari tiga relawan MER-C yang tiba di tanah air dengan selamat. Sarbini menyebut bahwa Farid sudah lama menjadi relawan di Gaza.
"Beliau ini sudah ada di Gaza kurang lebih empat tahun. Bulan Februari 2020 bersama dengan rombongan, beliau ke Gaza. Beliau ini mahasiswa Universitas Islam Gaza dan dia juga merangkap relawan MER-C," ungkap Sarbini dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (13/12).
Bertolak dari Bandara Kairo, Mesir, Selasa (12/12), Farid pun akhirnya mendarat di Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng, Jawa Barat, Rabu dini hari (13/12). Meski terlihat lelah, Farid pun bercerita kepada wartawan tentang proses panjang evakuasinya dari Gaza.
Farid mengatakan bahwa pada 22 November, ia bersama rombongan pasien dan karyawan dari rumah sakit Indonesia dievakuasi ke wilayah Selatan. Bus yang mereka tumpangi, kata Farid, melewati pos pemeriksaan yang didirikan Israel. Lolos dari pos pemeriksaan itu, rombongannya dievakuasi ke sebuah sekolah milik pemerintah yang letaknya berdekatan dengan rumah sakit Eropa di Khan Younis, Gaza Selatan.
Farid mengaku proses kepulangannya sedikit terhambat karena untuk dapat keluar dari Gaza memerlukan izin dari tiga pihak. “Saya juga tidak langsung keluar dari jalur Gaza. Saya menunggu dua minggu untuk mendapat konfirmasi saya keluar dari jalur Gaza,” ungkap Farid.
“Yang susahnya itu menunggu list nama yang mereka upload dari Rafah. Jadi setiap hari mereka mengupload nama-nama yang untuk keluar dari Gaza, dan itu ada tiga perizinan dari Mesir, Palestina, dan Israel. Waktu itu Mesir langsung menyetujui nama-nama kami. Cuma balik lagi, masalahnya adalah mereka,” imbuhnya.
Farid memutuskan kembali ke tanah air karena alasan keamanan dan adanya misi lain yang harus dijalaninya, tanpa menjelaskan lebih lanjut. Ia mengatakan,dua relawan MER-C lainnya yang memutuskan untuk tetap tinggal dalam keadaan selamat.
“Kondisi relawan kami yang bernama Fikri dan Reza, alhamdulilah. Mereka keadaanya sehat dan penuh semangat untuk membantu warga Gaza dan mereka-mereka ini antusias untuk selalu membantu warga Gaza, terutama 1.500 pengungsi di sekolahan yang lokasinya dekat dengan rumah sakit Eropa itu. Selain itu, mereka juga selalu memberikan kabar terkini dari sana,” jelasnya.
Dalam konferensi pers tersebut, Farid juga menjadi saksi betapa pentingnya keberadaan Rumah Sakit Indonesia, yang merupakan rumah sakit terbesar kedua setelah rumah sakit Al-Shifa.
“Alhamdulilah RS ini memang sangat bermanfaat bagi orang-orang yang ada di sekitarnya terutama di masa peperangan. Ketika peperangan itu dimulai, semua orang-orang mulai pada mengungsi di daerah RS Indonesia itu sekitar kurang lebih 20 ribu pengungsi yang mengungsi,” jelasnya.
Tidak hanya itu, sumur yang ada di rumah sakit Indonesia pun menjadi sumber air minum bagi masyarakat di Gaza, ketika Israel sudah menutup akses listrik, air, internet, dan telepon.
Selain untuk para pengungsi, rumah sakit Indonesia pun menjadi tempat bagi para korban luka akibat peperangan yang pecah sejak 7 Oktober lalu. Menurutnya, semua korban dilarikan ke rumah sakit Indonesia mengingat rumah sakit Al-Shifa yang sudah tidak beroperasi.
“Rumah Sakit Indonesia bisa menampung walaupun tidak di ruangan inap, karena waktu itu banyak korban yang dilarikan ke Rumah Sakit Indonesia bahkan sampai 400 orang lebih yang luka-luka. Dan para pengungsi semuanya pada di situ, karena mereka mau lari kemana? Mau ke selatan, mereka pasti akan di bom waktu di jalan. Jadi mereka tidak ada tempat yang aman waktu itu,” tambahnya.
Pengamat Timur Tengah dari Universitas Indonesia (UI) Agung Nurwijoyo menyoroti proses sulit untuk keluar dari Gaza, sebagaimana digambarkan Farid. Menurutnya, mengingat masih ada dua relawan MER-C di sana, pemerintah harus mencari cara untuk bisa membawa pulang mereka jika mereka menginginkannya.
“Pertama poin besarnya adalah kemauan dari WNI tersebut untuk kemudian keluar dari Gaza. Kalau mereka mau berarti ada proses yang harus dilalui termasuk salah satu poin pentingnya adalah melobi pihak Mesir, khususnya untuk kemudian membantu para WNI untuk bisa keluar dari Gaza, tentu sepersetujuan dari WNI yang bersangkutan,” ungkap Agung.
Agung mengatakan, yang bisa dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk bisa memberikan perlindungan kepada relawan MER-C yang masih menjalankan misi kemanusiaan di Gaza adalah terus mendorong upaya politis, termasuk mengupakan gencatan senjata.
“Langkah politik dalam konteks usaha untuk mendeeskalasi konflik tetap menjadi prioritas utama yang juga bisa menjamin kehidupan bagi WNI yang memang yang sedang bertugas dalam konteks kemanusiaan di sana. Karena sudah sangat membabi buta, sudah di luar konteks hukum humaniter internasional bahkan kabar terbaru menyatakan bahwa Israel menangkap petugas-petugas medis. Itu dalam konteks perang sudah sangat di luar nalar,” jelasnya.
Menurutnya, langkah politis dari banyak pihak akan menunjukkan bahwa dunia internasional memiliki seruan yang kuat kepada Israel untuk segera menghentikan genosida terhadap rakyat Palestina di Gaza. [gi/ab]
Forum