Komnas HAM-RI Perwakilan Sulteng mengimbau aparat aparat Kepolisian dan Satuan Tugas Tinombala untuk segera mengambil langkah dan tindakan guna menangkap anggota kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Polisi sudah menyatakan MIT sebagai pelaku pembunuhan yang menewaskan empat warga Jumat lalu (27/11).
“Negara tidak boleh kalah oleh tindakan kejahatan dalam bentuk apapun, tidak terkecuali bagi pelaku teror yang tergabung dalam MIT. Tidak ada ruang dan tempat bagi pelaku teror di negeri ini,” tegas Dedi Azkary, Kepala Kantor Komnas HAM Perwakilan Sulawesi Tengah, Sabtu (28/11).
Dedi Azkary menyampaikan rasa prihatin dan duka yang mendalam atas peristiwa di dusun lima desa Lembantongoa yang disebutnya sangat mengusik rasa kemanusiaan. Dia mengimbau masyarakat di Sulawesi Tengah untuk tidak terprovokasi atas tindakan kelompok yang sama sekali tidak mencerminkan suatu ajaran agama apapun dan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.
Harus Menjadi Musuh Bersama
Nur Sangadji, Ketua Forum Koordinasi Penanggulangan Terorisme (FKPT) Sulawesi Tengah, mengatakan perlu ada peningkatan kesiagaan masyarat dan aparat di tingkat desa, di sekitar hutan pegunungan, yang selama ini menjadi tempat persembunyian kelompok MIT. Masyarakat harus menjadikan kelompok itu sebagai musuh bersama dan memberikan dukungan penuh kepada aparat keamanan agar dapat secepatnyamengungkap dan menangkap para pelaku.
“Spiritnya itu adalah seluruh masyarakat harus menjadikan ini common enemy sebagai musuh bersama artinya masyarakat juga mensupport aparatur dengan cara kerjanya. Yang paling menentukan lagi kerja keras aparat, memang itu jalan yang harus dilakukan “ jelas Nur Sangadji, Minggu (29/11).
Dia berharap masyarakat di wilayah itu tidak terpancing atau terprovokasi oleh peristiwa itu.
Meskipun telah diburu sejak tahun 2016, tapi aparat keamanan dalam Satuan Tugas (Satgas) Tinombala belum dapat menangkap seluruh anggota kelompok itu. Dengan memanfaatkan wilayah hutan pegunungan yang luas di wilayah Kabupaten Poso, Sigi dan Parigi Moutong, kelompok yang di pimpin oleh Ali Kalora itu bertahan dengan menggunakan taktik gerilya.
“Dari tahun 2016 sampai sekarang belum juga terungkap memang menjadi tanda tanya banyak juga di masyarakat yang skeptis tentang kesungguhan dan lain sebagainya. Ini semua harus dijawab oleh aparat kita dengan menunjukkan kinerja dan hasil yang diharapkan,” tutur Nur Sangadji.
Terus Diteror, Petani Tinggalkan Ratusan Hektar Lahan
Insitut Mosintuwu yang meneliti sejarah kekerasan di Poso dan di Sulawesi Tengah menyatakan pembunuhan keji yang dilakukan kelompok MIT berpola acak, tanpa memandang agama dan suku. Organisasi yang berbasis di Tentena itu mengatakan dalam periode Januari-November 2020 kelompok teroris pimpinan Ali Kalora tersebut membunuh tiga warga di Kabupaten Poso yang berlatar belakang sebagai petani kebun.
“Pada 8 April 2020, kelompok Mujahidin Indonesia Timur melakukan pembunuhan keji pada Daeng Tapo dan pada 19 April 2020 membunuh Ajeng, keduanya muslim. Selanjutnya, pada 8 Agustus 2020 mereka membunuh Agus Balumba yang beragama kristen. Dan jauh sebelumnya pada 3 September 2019, mereka juga membunuh Wayan Astika yang beragama Hindu,” jelas Lian Gogali, Direktur Institut Mosintuwu, Minggu (29/11).
Lian menyatakan aksi kekerasan itu telah menjadi teror bagi para petani dan warga, akibatnya ratusan hektar kebun di wilayah Kabupaten Poso ditinggalkan. Padahal mereka adalah tumpuan dan garda pertama ketahanan pangan masyarakat Sulawesi Tengah, apalagi ditengah pandemi Covid-19 ini di mana pangan adalah sumber utama bertahan di masa-masa sulit.
Organisasi itu juga mencatat sepanjang tahun 2020 tiga warga di Poso tewas akibat salah tembak oleh aparat keamanan dalam dua peristiwa terpisah.
Menurutnya operasi keamanan di Kabupaten Poso dan Sulawesi Tengah, perlu dievaluasi dengan mempertimbangkan keselamatan dan rasa aman masyarakat, yang menjamin para petani bisa tetap bekerja di kebun. [yl/em]