Pada 1 Desember lalu, sebuah kapal bermuatan 180 pengungsi Rohingya bertolak dari Bangladesh menuju Indonesia. Di dalamnya ada bayi, perempuan hamil dan anak-anak yang ketakutan. Mereka semua melarikan diri dari kekerasan yang meningkat di kamp-kamp pengungsi Bangladesh. Sepekan kemudian, kapal itu lenyap. Kantor berita Associated Press merekonstruksikan perjalanan mereka berdasarkan puluhan wawancara, rekaman video dan suara panggilan telepon dari kapal itu.
Mereka yang berada di kapal nahas itu termasuk di antara sedikitnya 348 orang Rohingya yang tewas atau hilang sewaktu berusaha mengarungi Teluk Benggala atau Laut Andaman tahun lalu. Itu adalah jumlah kematian terbanyak sejak 2014. Namun begitu badan pengungsi PBB mengatakan permintaan berulang kalinya kepada otoritas maritim untuk menyelamatkan sebagian dari kapal yang meminta bantuan darurat dalam beberapa bulan ini telah diabaikan.
“Kapal kami tenggelam!,” seru Setera Begum, sementara badai mengancam melemparnya dan sekitar 180 lainnya ke laut yang hitam kelam di sebelah selatan Bangadesh. “Hanya setengahnya yang masih mengapung!”
Muhammed Rashid, suami Setera, ada di ujung lain percakapan telepon itu. Rashid, yang mengangkat panggilan telepon itu pada tanggal 7 Desember 2022 pukul 10.59 malam, berada di Malaysia, ratusan kilometer jauhnya dari kapal yang ditumpangi sang istri. Telah 11 tahun Rashid tak pernah berjumpa dengan keluarganya.
Dan ia baru tahu beberapa hari sebelumnya bahwa Setera dan dua anak perempuan mereka, telah berupaya lari menghindari kekerasan yang melonjak di kamp-kamp pengungsi etnik Rohinga di Bangladesh.
Ayah Setera, Abdu Shukkur, melarangnya pergi dengan kapal, tetapi istrinya kemudian turun tangan. “Ya, saya cemas, tapi saya juga mempertimbangkan bahwa karena orang-orang lain yang pergi adalah orang-orang yang kami kenal, saya izinkan dia pergi dengan mengucap bismillah,” kata Gul Faraz.
Kini, Rashid cemas, upaya keluarganya yang melarikan diri dengan panik itu mengorbankan hal yang justru sedang mereka coba selamatkan – nyawa mereka. Karena, terlepas dari seruan Setera, tak ada bantuan yang datang, baik untuknya maupun untuk ke-180 orang lainnya di dalam kapal itu.
Rohingya adalah orang-orang yang tak dikehendaki siapa pun.
Minoritas Muslim yang tak memiliki kewarganegaraan in telah puluhan tahun menderita penganiayaan di tanah air mereka di Myanmar, di mana mereka telah lama dianggap sebagai penyelundup oleh warga yang mayoritasnya penganut Buddha.
Sekitar satu juta orang telah menyeberangi perbatasan menuju Bangladesh. Tetapi di sana mereka justru mendapati diri terperangkap selama bertahun-tahun di kamp kumuh dan tersandera oleh kebijakan migrasi yang praktis tidak memberi mereka jalan keluar.
Kamp-kamp itu diwarnai oleh kekerasan, kelaparan yang meluas, dan kebakaran yang kerap terjadi.
Tahun lalu, lebih dari 3.500 orang Rohingya berusaha menyeberangi Teluk Benggala dan Laut Andaman – peningkatan 360 persen daripada tahun sebelumnya, menurut angka PBB yang hampir pasti lebih rendah daripada angka yang sesungguhnya. Sedikitnya 348 orang tewas atau hilang, jumlah korban tewas terbanyak sejak 2014.
Bahkan meskipun para pejabat tahu lokasi kapal-kapal itu dalam beberapa bulan belakangan ini, badan pengungsi PBB mengatakan permintaan berulang kali kepada otoritas maritim untuk menyelamatkan beberapa dari mereka telah diabaikan.
Meskipun berbagai hukum internasional mewajibkan penyelamatan kapal-kapal yang mengeluarkan tanda SOS, penegakannya sulit.
“Negara-negara di kawasan ini jelas menutup mata terhadap hal ini,” kata Dan Sullivan, direktur Refugees Internasional untuk wilayah Afrika, Asia dan Timur Tengah.”
Jamal Hussein membeli sebuah kapal dan membuat rekaman video untuk kemudian ia bagikan kepada para calon penumpangnya. Dalam video itu, yang diperoleh Associated Press, kapal kayu tersebut terlihat bersandar di perairan berwarna cokelat keruh.
Kapal itu tampak tua dan lusuh, dengan kompartemen sempit di bawah deknya, yang jelas terlalu kecil untuk mengangkut dengan aman 180 orang dalam pelayaran sejauh 1.800 kilometer ke Indonesia, tujuan Jamal.
Banyak di antara penumpang, termasuk Setera, berasal dari kamp pengungsi Nayapara, Blok H. Warga mengatakan bahwa Jamal adalah kapten kawakan yang berhasil membawa beberapa kapal lain berisikan pengungsi Rohingya berlayar di laut. Pengalamannya, kata warga, berikut kesediaannya untuk membawa 16 orang kerabatnya sendiri di kapal itu, termasuk istri, enam anak, lima cucu dan dua menantu yang sedang hamil – yang mendorong begitu banyak orang mempercayainya.
Pada malam tanggal 1 Desember, Setera, dan sekitar 180 pengungsi lainnya, termasuk puluhan anak-anak, meninggalkan pantai dengan kapal-kapal nelayan kecil menuju kapal Jamal yang menunggu.
Pada 7 Desember, Setera menelepon suaminya di Malaysia dengan suara panik. Rekaman panggilan telepon itu berdurasi 44 detik.
“Ya Allah, kapal kami tenggelam!” seru Setera melalui telepon satelit. “Hanya setengahnya yang masih mengapung! Tolong doakan kami dan beritahu orang tuaku!”
“Di mana kamu?” tanya Rashid.
“Kami akan menuju Indonesia.”
“Indonesia?” ulang Rashid.
“Tolong beritahu aku nama tempatnya,” kata Setera kepada seseorang di kapal itu, sebelum menjawab suaminya. “Ya, ini India. Coba tolong kirim …”
“Kamu di India?” tanya Rashid dengan bingung.’
“Kapal kami tenggelam! Kapal kami telah tenggelam!”
“Siapa?,” balas Rashid dengan panik.
“Ya Allah, kapal ini tenggelam tergulung ombak, kapal tenggelam karena badai!”
“Oh, tenggelam karena badai?” ulang Rashid. “Oh Allah…”
Percakapan telepon mereka terputus.
Rashid mulai berdoa.
Kafayet Ullah berada di kapal lainnya yang beris 104 orang yang berlayar satu hari di belakang kapal Jamal. Menurut Kafayet, ia hanya penumpang biasa. Padahal menurut orang-orang lain, dialah kaptennya.
Tidak lama setelah mulai berlayar, Kafayet berpapasan dengan Jamal yang mengabarkan bahwa mesin kapalnya bermasalah. Ia meminjam beberapa kabel listrik dari kapal Kafayet dan berusaha memperbaiki kerusakan. Sewaktu Jamal selesai memperbaiki mesin, ia berlayar lagi, dan Kafayet mengikuti di belakangnya.
Empat hari kemudian, langit tampak menakutkan.
Badai kuat menerjang mereka. Kapal-kapal mereka tergulung gelombang tanpa ampun.
Lampu di kapal Jamal padam.
“Kapal mereka miring di depan kapal kami,” kata Kafayet. “Saya melihat kapal ini melonjak naik dan dihantam gelombang sampai akhirnya benar-benar tenggelam.”
Setelah kapal Jamal tenggelam, kapal Kafayet terombang-ambing selama 10 hari, sampai akhirnya dijemput oleh Angkatan Laut Sri Lanka.
Rekaman percakapan telepon Setera menyebar ke Blok H. Sepupu Jamal, Muhammed Ayub, mulai meraung sedih setelah mendengar rekaman itu.
Ia berusaha mencegah putranya, Samira, dan anak-anaknya yang berusia 6 tahun dan sembilan bulan, untuk naik perahu itu bersama dengan suaminya, Kabir Ahmed.
Meringkuk di lantai di sampingnya, sang istri, Minara Begum yang menciumi baju kuning putri mereka Samira. Ia kemudian menangkupkan celana biru mungil Samir yang berusia sembilan bulan ke wajahnya, kainnya basah oleh air matanya.
“Berapa banyak yang harus kita derita?” [uh/ab]
Forum