Pemerintah Taliban di Afghanistan mengumumkan, Sabtu (17/8) bahwa pihaknya telah menyelesaikan kesepakatan perdagangan dan investasi senilai $2,5 miliar atau sekitar 39,24 triliun rupiah dengan Perdana Menteri (PM) Uzbekistan.
Kesepakatan antara dua negara yang bertetangga itu, ditandatangani selama kunjungan bersejarah PM Uzbekistan ke Kabul.
Perdana Menteri Uzbekistan Abdulla Aripov dan delegasinya tiba di ibu kota Afghanistan pada kunjungan tingkat tertinggi yang dilakukan seorang pemimpin asing ke negara tersebut sejak kelompok Islam Taliban kembali berkuasa tiga tahun lalu. Aripov didampingi oleh Menteri Investasi, Industri, dan Perdagangan Laziz Kudratov, dan pejabat senior lainnya.
Aripov dan Mullah Abdul Ghani Baradar, Wakil Perdana Menteri Taliban untuk urusan ekonomi, mengawasi penandatanganan “35 nota kesepahaman senilai $2,5 miliar.”
Upacara penandatangan itu digelar usai kedua pemimpin meresmikan pameran produk Uzbekistan di Kabul.
“Nota kesepahaman tersebut mencakup 12 perjanjian investasi senilai $1,4 miliar dan 23 perjanjian perdagangan senilai $1,1 miliar,” kata kantor Baradar dalam sebuah pernyataan. Dokumen tersebut mencakup sektor pertanian, energi, infrastruktur, dan manufaktur.
“Penandatanganan bersejarah ini merupakan bukti kemauan politik yang kuat dan komitmen kepemimpinan di Afghanistan dan Uzbekistan untuk memperdalam integrasi ekonomi di kawasan,” kata Baradar yang dikutip oleh media pemerintah Afghanistan yang dikelola Taliban.
“Kami yakin bahwa perjanjian ini akan menciptakan jalan baru bagi investasi, perdagangan, dan penciptaan lapangan kerja, yang memberikan manfaat bagi masyarakat kedua negara,” tambahnya.
Media Afghanistan mengutip Menteri Uzbekistan Kudratov yang mengatakan bahwa kedua negara bekerja sama untuk meningkatkan nilai perdagangan bilateral tahunan menjadi $3 miliar.
Afghanistan berbagi perbatasan sepanjang 144 kilometer dengan Uzbekistan, dan kedua belah pihak telah melaporkan peningkatan yang stabil dalam kerja sama politik, keamanan, dan ekonomi bilateral sejak pengambilalihan Pemerintahan Afghanistan oleh Taliban.
Kelompok fundamentalis kembali berkuasa di Kabul pada Agustus 2021 ketika pasukan Amerika Serikat dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (North Alliance Treaty Organization/NATO menarik diri dari negara itu setelah 20 tahun berperang dengan pemberontak Taliban.
Belum ada negara yang secara resmi mengakui Taliban sebagai pemerintah sah Afghanistan, dan bantuan pembangunan internasional kepada negara miskin tersebut masih ditangguhkan.
Sanksi global terkait terorisme terhadap banyak pemimpin tinggi Taliban, isolasi pemerintahan mereka, dan penghentian bantuan pembangunan asing telah mempersulit pemerintah de facto Afghanistan untuk mengatasi masalah ekonomi yang semakin parah di negara tersebut.
Bank Dunia melaporkan pada April bahwa pasca pengambilalihan Taliban telah terjadi penurunan tajam dalam bantuan internasional. Hal itu mengakibatkan Afghanistan tidak memiliki mesin pertumbuhan internal dan menyebabkan “kontraksi PDB riil yang mengejutkan sebesar 26 persen.
Namun, kebijakan Taliban, sejalan dengan interpretasi mereka yang ketat terhadap hukum Islam, telah meresahkan dunia. Taliban melarang anak perempuan Afghanistan bersekolah setelah kelas enam sekolah dasar dan banyak perempuan yang bekerja di sektor publik dan swasta.
Taliban menolak kritik terhadap pemerintah mereka sebagai campur tangan dalam urusan internal Afghanistan, dengan mengatakan kebijakan mereka sejalan dengan budaya lokal dan Islam. [ft/ah]