Untuk meratakan layanan pendidikan, pemerintah melakukan terobosan dengan membuka lowongan lebih setengah juta guru dalam skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Sayangnya, 117.000 lebih posisi itu kosong sampai saat ini, karena tak ada yang melamarnya.
Angka itu dipaparkan Iwan Syahril, Ph.D, Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi, dalam rapat kerja dengan DPR, Rabu (19/1).
“Ada 117.000 formasi lebih yang tidak dilamar sama sekali di tahap satu dan tahap dua. Dan ketika kita buka datanya, ternyata kita bisa melihat sebuah tren, bahwa guru-guru kita tidak melamar ke daerah-daerah yang aksesnya terbatas atau terpencil,” papar Iwan.
Kalimantan Barat, Papua, Banten, Sulawesi Tenggara dan Nusa Tenggara TImur adalah lima provinsi tertinggi yang mengalami kekosongan formasi akibat ketiadaan pelamar. Dari analisa Kemendikbudristek, sebenarnya 34.800 formasi berada di daerah yang sangat mudah di akses, dan 3.202 formasi relatif mudah. Sementara yang benar-benar berada di wilayah sulit diakses, ada 79.937 formasi. Artinya, tidak seluruh formasi kosong ada di daerah sulit dijangkau transportasinya.
Secara total, ada lebih dari 20 persen lowongan guru yang tersia-siakan. Muncul kecenderungan pada calon guru ini melamar untuk formasi di sekolah-sekolah yang lebih mudah dijangkau. Iwan memberi contoh, mereka yang ada di Kepulauan Seribu, cenderung melamar untuk formasi yang ada di Jakarta Utara.
“Yang di daerah melamarnya ke kota, di wilayah kewenangan yang sama. Padahal kalau sebenarnya dia bersaing di formasi ini, besar kemungkinan dia akan mendapatkan formasi tersebut,” ujar Iwan.
Secara rinci Iwan mengatakan, Kemendikbudristek telah membuka 506.252 formasi guru, dengan memberikan perhatian khusus bagi guru-guru honorer yang telah lama mengabdi. Dari jumlah itu, lamaran masuk bagi 388.313 formasi dengan 293.848 dinyatakan lolos.
“Hampir 300.000 guru honorer yang sudah lulus formasi pada ujian pertama dan kedua dan akan segera diangkat menjadi guru PPPK. Jika kita melihat angka ini, dari formasi yang dilamar sekitar 75,7 persen, angkanya cukup tinggi,” tambahnya.
Dengan jumlah guru diterima lebih dari 293.000, berarti sekitar 58 persen formasi telah terisi.
Kebijakan Afirmasi Khusus
Pemerintah sendiri telah menerapkan kebijakan afirmasi agar guru honorer yang telah mengabdi cukup lama erakomodasi melalui skema ini. Mereka yang memiliki sertifikat pendidik, berusia di atas 35 tahun, penyandang disabilitas dan guru honorer THK II menerima tambahan nilai dengan kriteria tertentu.
Namun, menurut Agus Kadepa, afirmasi yang disediakan Kemendikbudristek belum cukup. Dia tidak heran Papua duduk sebagai salah satu provinsi dengan jumlah formasi kosong tertinggi. Agus adalah aktivis pengajar di Gerakan Papua Mengajar (GPM), yang berminat mendaftar PPPK, tetapi terkendala sejumlah syarat.
“Saya, sempat mau mendaftar tetapi salah satu syaratnya adalah harus terdaftar di Dapodik. Bagaimana bisa, saya mendaftarkan diri?” kata Agus sambil tertawa.
Dapodik yang disebut Agus adalah Data Pokok Pendidikan, sebuah sistem pendataan nasional di sektor ini, di mana guru honorer termasuk di dalamnya. Di Papua, kata Agus, sistem ini sulit berjalan karena saat ini ada banyak sekolah yang tidak bisa menjalankan kegiatan belajar mengajar. Karena tidak ada kegiatan, otomatis sekolah tidak membutuhkan guru honorer, dan karena itu pengajar seperti Agus Kadepa, tidak bisa masuk dalam Dapodik, dan pada gilirannya tidak bisa mendaftar PPPK.
Persoalan lain adalah karena proses pendaftaran secara daring. Banyak guru di wilayah terpencil, tidak bisa mengakses internet dan pada gilirannya tidak bisa mendaftar.
“Di Papua pada umumnya, sebagian daerah belum tersentuh jaringan internet. Ketika kebijakan daring dilakukan dan memudahkan di hampir seluruh Indonesia, tetapi di sebagian Papua belum tentu. Karena akses internet belum sampai,” tandas Agus.
Agus berharap ada afirmasi khusus bagi Papua, di luar afirmasi yang secara umum diberikan dalam program PPPK. Papua memiliki kendala sangat kompleks yang mungkin tidak dipahami oleh Kemendikbudristek. Agus menyarankan, proses perekrutan guru ke depan bisa diserahkan ke pemerintah daerah.
Ada syarat-syarat, yang menurut Agus Kadepa, sangat sulit dipenuhi dalam konteks Papua.
“Para penggerak pendidikan di Papua, banyak yang tidak bisa memenuhi persyaratan itu. Berikan saja kewenangan ke kabupaten masing-masing untuk melakukan itu. Kalau kita bicara Otonomi Khusus juga sebenarnya hal ini bisa diatur di daerah,” tambahnya.
Melalui Gerakan Papua Merdeka, Agus Kadepa dan rekan-rekan kini telah mendirikan pusat pembelajaran di berbagai wilayah. Ada satu kelompok belajar di Kabupaten Paniai, tiga kelompok belajar di Deiyai, empat kelompok belajar di Nabire dan juga di Jayapura.
Ironisnya, penggerak pendidikan sukarela seperti Agus Kadepa yang sudah bertahun-tahun mengabdi di wilayah terpencil ini, tidak menerima kebijakan afirmasi khusus.
Kompensasi Tambahan Diperlukan
Anggota DPR Komisi X, Ledia Hanifa Amaliah, meminta Kemendikbudristek menerapkan kebijakan khusus ke depan.
“Pada formasi yang tidak ada yang mendaftar karena lokasi yang susah diakses, semestinya ada kompensasi, agar tujuan pemerataan guru tercapai,” kata Ledia.
Dia mengingatkan pemerintah, bahwa PPPK konteksnya adalah untuk pemerataan guru. Jika ada 117.000 formasi yang tidak ada pendaftarnya, karena wilayah yang sulit diakses dan alasan lain, tentu perlu kebijakan kompensasi. Ledia mengingatkan, bahwa yang akan didistribusikan adalah guru, bukan sebuah barang. Karena itu, fasilitas khusus mungkin diperlukan untuk menambah daya tarik berkiprah di wilayah terpencil.
“Dia mungkin punya keluarga. Jangan sampai nanti nambah banyak layangan putus karena suaminya pergi ke daerah terpencil dan keluarganya ditinggalin,” tambahnya. [ns/ab]