Jika mendengar komposisi “Don’t Cry For Me Argentina” ini, Anda tentunya akan teringat Evita Perón, tokoh di balik komposisi karya Andrew Lloyd Webber dan Tim Rice ini. Liriknya mengisahkan perjuangan pemimpin politik Argentina terkemuka Eva Perón, istri kedua Presiden Juan Perón. Komposisi ini pertama kali dinyanyikan oleh Julie Covington tahun 1976, dan dipopulerkan oleh Elaine Page tahun 1978 dan kemudian Patty LuPone tahun 1979 di Broadway. Selanjutnya beragam artis ikut menyanyikan lagu indah ini, antara lain the Carpenters, Olivia Newton-John, Sinead O’Connor, Sarah Brightman, dan Madonna.
Tetapi siapa sesungguhnya Eva Perón, yang mengilhami komposisi ini dan pekan lalu membuat ribuan warga Argentina turun ke jalan-jalan untuk mengenang kepergiannya 70 tahun lalu?
“Eva Perón adalah seorang visioner. Ketika itu banyak negara tidak memberi kesempatan pada perempuan untuk memilih, dan dia memperjuangkan hal itu, mengedepankannya dan bersama dengan pemerintah Jendral Juan Domingo Perón memutuskan untuk mengakui hak perempuan itu. Jadi buat kami, perempuan pekerja, ini sangat fundamental.”
Demikian pandangan Andelo Iñigo, salah seorang pendukung Eva Perón yang berusia 40 tahun.
Warga Argentina menyebutnya sebagai “sosok yang memiliki tujuan atau kepentingan yang sama” dengan rakyatnya. Ini dikarenakan selama masa kepresidenan pertama suaminya, Juan Domingo Perón, antara tahun 1946-1955, ia memberi bantuan sosial kepada jutaan warga miskin Argentina dan ikut membangun salah satu gerakan politik paling penting di Amerika Latin.
Eva, atau, Evita Perón dilahirkan di sebuah rumah sederhana di Los Toldos, sebuah kota kecil yang terletak sekitar 300 kilometer dari ibu kota Buenos Aires. Ketika berusia 15 tahun ia telah meninggalkan rumah dan mengejar mimpinya menjadi aktris. Sepuluh tahun kemudian ia bertemu dengan Juan Domingo Perón, seorang pejabat militer yang juga pejabat pemerintah yang berkuasa.
Eva Perón berada di sisi suaminya ketika ia memenangkan pemilu presiden tahun 1946 dan kemudian memainkan peran yang belum pernah ada sebelumnya di negara itu, yaitu sebagai ibu negara yang berpengaruh dan senantiasa berada di garis depan ketika memperjuangkan hak-hak kaum perempuan, termasuk hak untuk memilih dalam pemilu presiden dan kemudian membentuk yayasan untuk membantu warga miskin.
Meskipun ia dicintai banyak orang, tidak sedikit pula yang membencinya. Sebagian besar adalah warga kaya dan berpengaruh yang khawatir dengan pengaruh dan popularitas Eva Perón.
Pamornya mulai surut ketika pada tahun 1952 ia meninggal dunia akibat kanker rahim dalam usia 33 tahun. Kepergiannya memicu duka cita mendalam di negara Amerika Selatan itu; bahkan hingga 70 tahun setelah kematiannya.
“Bagi saya di saat krisis (dulu), Evita datang dari surga dan meninggalkan pesan pada kami semua, yaitu agar kami senantiasa Bersatu, dan di atas segalanya adalah membantu mereka yang membutuhkan di Argentina," jelasnya.
Tujuh puluh tahun setelah kematiannya, Eva Perón masih terus membangkitkan semangat di Argentina karena mereka yang mengaguminya yakin citranya sebagai pejuang kaum miskin lebih relevan dibanding sebelumnya, yaitu ketika ketidaksetaraan gender dan kemiskinan meningkat. Eva Perón telah menjadi subyek dari banyak buku, film, acara TV, dan bahkan musical Broadway. [em/jm]
Forum