Ahmad Syafii Maarif, tokoh bangsa yang biasa dipanggil Buya Syafii adalah sejarawan, pendidik, dan pernah menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Saat ini, dia duduk sebagai Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Buya adalah juga orang dekat Presiden Jokowi, dan kawan untuk hampir semua pemimpin negara.
Namun Buya menjalani hidup sederhana. Bukan sesuatu yang ganjil bagi warga kawasan Nogotirto, Yogyakarta melihatnya mengayuh sepeda di jalan. Orang-orang berbagi kisah, menemui dia di angkringan, membeli sabun di warung, naik KRL dan selalu duduk di kelas ekonomi ketika menggunakan pesawat. Juga bagaimana dia begitu sabar mengantri saat memeriksakan diri di rumah sakit milik Muhammadiyah, yang turut dibesarkannya.
“Beliau itu pertama teladan soal kesederhanaan, itu luar biasa bagi saya, dan yang kedua itu juga jujur, berani untuk menyatakan sesuatu yang memang harus disampaikan,” kata Nia Syarifudin, aktivis perempuan dari Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika.
Buya adalah salah satu pendiri aliansi yang dibentuk sebagai respon terhadap upaya penyeragaman di Indonesia. Sejak lama, Buya memang seorang yang menghargai kebhinnekaan. Ketegasannya bahkan menjadi anutan bagi banyak pejuang pluralisme di Indonesia.
“Kami merasa bahwa beliau itu berkah. Buya memang orang Muhammadiyah, tapi saya sangat setuju bahwa beliau adalah guru bangsa kita pada saat ini,” tambah Nia.
Paparan Nia itu disampaikan dalam diskusi daring bertema "Islam Berkemajuan Perspektif Ahmad Syafii Maarif". Diskusi diselenggarakan Maarif Institute pada Minggu 31 Mei 2020, untuk mensyukuri 85 tahun usia Buya. Selama beberapa hari, mulai 29-31 Mei 2020, sejumlah lembaga secara khusus menggelar diskusi daring untuk memperingati ulang tahun Buya ke-85. Para pembicara datang dari berbagai latar belakang agama, partai politik, organisasi dan profesi, yang membuktikan begitu besar pengaruh Buya melintas batas.
Buya lahir di Calau, Sumpur Kudus, Sumatera Barat, pada 31 Mei 1935. Ayahnya adalah Ma'rifah Rauf Datuk Rajo Malayu, dan ibunya bernama Fathiyah. Ibunya meninggal ketika Buya baru berusia 1,5 tahun. Dia kemudian hidup bersama adik ayahnya, Bainah.
Buya menikah pada usia 28 tahun dengan Nurkhalifah, gadis yang ketika itu baru berumur 19 tahun. Pernikahan di Masjid Rajo Ibadat itu berlangsung pada 5 Februari 1965. Buya menempuh pendidikan di IKIP yang kini bernama Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dalam bidang Sejarah. Dia kemudian tinggal di Yogyakarta karena menjadi dosen di kampus tersebut.
Berkemajuan untuk Melawan Kemunduran
Berbicara pula dalam diskusi ini, tokoh muda Nahdlatul Ulama, Akhmad Sahal yang kini ada di Universitas Pennsylvania. Akhmad Sahal adalah juga Pengurus Cabang Istimewa NU (PCINU) Amerika Serikat.
Sahal mengutip sebagian tulisan-tulisan Buya tentang Islam Berkemajuan yang dia jadikan panduan untuk memahami konsep tersebut. Merujuk pada pemikiran Buya, kata Sahal, Islam berkemajuan adalah respon terhadap munculnya kemunduran dalam beragama. Kemunduran itu, seperti dicatat oleh Buya, salah satu faktor utamanya adalah masih dibebaninya Islam dengan Arabisme.
Sahal mengatakan, elemen-elemen Arab memang menjadi sebagian unsur dalam Islam. Namun, unsur itu tidak dominan.
“Islam tidak identik dengan Arab. Dan menurut Buya, salah satu yang menjadi penyebab kemunduran umat Islam adalah ketika arabisme ini mencengkram sejarah Islam dan menghilangkan dimensi paling utama dari Islam, yaitu egalitarianisme,” kata Sahal.
Dimensi Politik Kejujuran
Dalam seri diskusi lain, yang juga diselenggarakan Maarif Institute, dibahas mengenai Pemikiran Politik Ahmad Syafii Maarif. Sejak muda, sebagai sejarawan Buya memang dikenal dengan ulasan politik yang jernih. Dia bahkan tidak segan berbeda pandangan politik, karena Muhammadiyah memang mempersilahkan setiap kadernya untuk berpolitik.
Pemikir politik Islam, Abdul Munir Mulkhan, menyebut pemikiran politik Buya sebagai politik kejujuran. Politik kejujuran, lanjutnya, berbasis pada kemanusiaan. Karena konsep kejujuran dan kemanusiaan itu, Buya dinilai Mulkhan mampu melintasi politik aliran. Jika masyarakat Indonesia digolongkan oleh sosiolog asing sebagai santri, priyayi dan abangan, maka menurut Mulkhan, Buya mampu berada di tengah ketiga golongan itu.
“Beliau bisa berteman akrab dengan teman-teman NU, tokoh-tokoh lintas agama, yang sekarang mungkin sudah banyak yang seperti itu.Tetapi pada tahun 2000-an, tidak banyak,” ujar Mulkhan.
Perjalanan hidup Buya juga membentuk cara pandangnya, tidak hanya dalam beragama tetapi juga terhadap kehidupan sosial politik.
“Buya itu bertransformasi, dari konservatis spiritualisme ke substansialisme. Dari yang sangat simbolis, menjadi bertransformasi ke arah yang lebih cair, yang lebih terbuka, yang mengedepankan kemanusiaan,” tambah Mulkhan.
Bapak Bangsa dari Muhammadiyah
Muhammadiyah sendiri menyebut Buya sebagai Bapak Bangsa, karena kecintaan, pemikiran, sikap hidup dan tindakannya sebagai sosok negarawan-bangsa. Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir menyebut itu dalam gelaran 85 tahun Milad Buya Syafii Maarif bertema Mencari Negarawan. Acara daring ini digelar Jaringan Intelektual Berkemajuan pada Sabtu (30/5) malam.
“Kiprah Buya, sebagai sosok yang mewakili civil society, dia tidak anti kekuasaan dan anti rezim, tetapi juga tidak larut dan tidak masuk pada rezim itu. Tentu setiap orang punya kekurangan, tetapi benang merahnya adalah, Buya ingin menghadirkan Islam, Muhammadiyah dan wawasan kebangsaan yang merawat kemajemukan,” kata Haedar.
Tidak jarang, pemikiran Buya sebagai tokoh Muhammadiyah yang maju, dinilai sebagai pemikiran liberal dalam makna positif.
Haedar mencatat, di era kepemimpinan Buya, lahir pemikiran tentang kembali ke khittah Muhammadiyah. Dalam Muktamar tahun 2002 di Denpasar, Bali, Buya juga mengusung dakwah kultural yang sempat menjadi polemik di tubuh persyarikatan.
“Tetapi dalam konteks Muhammadiyah, Buya paham betul bagaimana membingkai pemikiran-pemikiran itu dalam satu sistem dan kolektivitas, sehingga menghasilkan pemikiran bersama yang memberi warna dalam perjalanan Muhammadiyah. Yakni Muhammadiyah yang berwajah kultural, tanpa wajah politik,” lanjut Haedar.
Menegaskan bahwa Muhammadiyah tidak berada di ranah politik, Haedar mengatakan dalam konteks bangsa, Buya hadir menjadi sosok pemberi warna. Buya juga menghadirkan pemahaman tentang pluralisme atau kemajemukan dalam beragama, berbangsa, dan bernegara. Di sisi lain, Buya juga tegas dalam prinsip-prinsip ber-Islam tetapi inklusif. [ns/ab]