Hasil survei opini Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menunjukkan 62,2 persen dari 2.420 responden menilai ekonomi nasional di tahun 2022 akan jauh lebih baik dibanding sekarang. Hasil survei itu dipaparkan oleh Direktur riset SMRC, Deni Irvani, yang dirilis secara daring dengan tema "Ekonomi-Politik 2021 dan Harapan 2022: Opini Publik Nasional".
Survei opini publik ini digelar pada 8 sampai 16 Desember 2021 melalui tatap muka atau wawancara langsung terhadap 2.420 responden yang dipilih secara acak. Responden yang dapat diwawancarai secara valid sebanyak 2.062 orang atau 85 persen. Survei ini memiliki tingkat kepercayaan 95 persen dengan tingkat kesalahan 2,2 persen.
"Optimisme ini naik dalam setahun terakhir dari 49,7 persen pada Oktober 2020, sekarang sudah mencapai 62,2 persen," kata Deni, Minggu (26/12).
Meskipun mayoritas warga atau 62,2 persen responden optimis dengan kondisi ekonomi nasional ke depannya. Namun, optimisme itu masih lebih rendah dibandingkan sebelum ada pandemi COVID-19.
"Optimisme publik terhadap ekonomi nasional hampir sama dengan sebelum ada COVID-19 yaitu 66 persen (pada April 2019), sekarang 62,2 persen," ujar Deni.
Sementara ada 10,6 persen warga yang menilai kondisi ekonomi nasional setahun ke depan akan jauh lebih buruk.
"Sedangkan yang menilai tidak ada perubahan 19,2 persen dan tidak menjawab 7,9 persen," ungkap Deni.
Lanjut Deni, dalam temuan survei itu juga sejalan dengan optimisme masyarakat pada ekonomi rumah tangganya. Setidaknya ada 72,9 persen masyarakat yang menilai ekonomi rumah tangga tahun depan akan jauh lebih baik dibandingkan sekarang.
"Yang menilai akan jauh lebih buruk hanya sekitar 6,7 persen. Lalu, yang menilai tidak ada perubahan yaitu 15,9 persen. Sedangkan yang tidak tahu atau tidak menjawab sebesar 4,4 persen," jelasnya.
Pemulihan Ekonomi Tergantung Sejumlah Faktor
Sementara itu secara terpisah, pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy, mengatakan membaiknya kondisi ekonomi Indonesia di tahun 2022 akan dipengaruhi sejumlah faktor. Salah satunya adalah tingginya inflasi di Amerikat akan menimbulkan tekanan terhadap ekonomi negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Inflasi di Amerika saat ini adalah 6,8 persen atau yang tertinggi sejak tahun 1982.
"Kalau cara pandang eksternal ekonomi Indonesia akan terkerek naik walaupun terjadi inflasi di AS yang meningkat. Tapi pada saat yang sama Indonesia juga dalam posisi tidak jelas dari pertarungan mata uang dolar dengan yuan atau renminbi. Karena ketergantungan terhadap dolar tinggi maka Indonesia mau tak mau terkerek dengan AS. Kalau perekonomian AS membaik Indonesia juga membaik," katanya saat dihubungi VOA.
Kendati ekonomi Indonesia di tahun 2022 dinilai akan membaik. Namun, Indonesia akan dihadapi dengan problematik dari kebijakan fiskal yang diterapkan oleh pemerintah. Indonesia pun harus mewanti-wanti terkait dengan kebijakan fiskal yang diterapkan malah membuat harga-harga komoditas terdorong naik.
"Artinya seperti kondisi sekarang kemampuan Indonesia mengurangi kemiskinan kian menurun dan di saat yang sama ketika utang luar negeri makin meningkat kemampuan itu menurunnya dua kali lipat. Walaupun Indonesia terdorong naik pertumbuhan ekonominya di tahun 2022. Tapi problematik ketimpangan pengangguran, dan kemiskinan, itu tidak menunjukkan kinerja yang menggembirakan," pungkasnya. [aa/em]