Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan sebanyak 36,2 persen dari 1.213 responden yang diwawancara menilai pemberantasan korupsi yang berjalan saat ini masih buruk atau sangat buruk. Sedangkan 24 persen responden lainnya menilai baik atau sangat baik dan yang menilai sedang 30,2 persen. Survei tersebut melibatkan 1.213 responden pada 18-24 Mei 2022 dengan tingkat kesalahan kurang lebih 2,9 persen.
"Bahkan pemilih Pak Jokowi sekalipun yang mengatakan kondisi pemberantasan korupsi buruk lebih banyak ketimbang yang mengatakan kondisi pemberantasan korupsi baik," jelas Burhanuddin dalam konferensi pers daring pada Rabu (8/6).
Ia menjabarkan 55,5 persen dari total responden yang merupakan pendukung Jokowi saat pemilu 2019 lalu, 31,8 persen menyatakan pemberantasan korupsi buruk atau sangat buruk. Sedangkan yang menyatakan baik atau sangat baik hanya 26,1 persen. Ini artinya, menurut Burhanuddin, pemilih Presiden Joko Widodo juga tidak puas dengan pemberantasan korupsi saat ini.
Selain itu, ia juga menyebutkan bahwa mayoritas publik menilai semakin tinggi lembaga pemerintahan maka semakin luas pula praktik korupsi dan suap menyebar. Ini terlihat dari persentase responden yang menilai korupsi di pemerintah pusat lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelurahan.
Sementara dari sisi sektor, publik menilai korupsi sebagian besar terjadi ketika berurusan dengan polisi, mendaftar menjadi PNS, dan penggunaan dana desa.
"Di kelurahan yang menyatakan korupsi menyebar itu 14 persen, sementara di pemerintah pusat 40 persen dan provinsi 26 persen," tambahnya.
Di sisi lain, sikap responden yang menilai wajar terhadap suatu pemberian untuk memperlancar urusan atau bentuk terima kasih ketika berhubungan dengan instansi pemerintah cenderung meningkat. Ini sejalan dengan responden yang menilai penggunaan hubungan pribadi untuk memperlancar proses pengurusan kepentingan juga cenderung meningkat.
Survei Dinilai Jadi Cermin Bagi Aparat
Terkait hasil survei tersebut, mantan juru bicara Komisi Pemberrantasan Korupsi (KPK), Febri Diansyah berharap hal itu dapat dijadikan sebagai cermin bagi aparat penegak hukum dalam pemberantasan korupsi. Ia juga mengingatkan aparat, khususnya KPK untuk menuntaskan kasus-kasus yang menjadi perhatian masyarakat. Contoh kasus buron Harun Masiku yang tidak kunjung tertangkap oleh KPK dan korupsi bansos COVID-19.
"Ada kasus Harun Masiku yang diingat publik yang tidak ketemu sampai sekarang. Dan anehnya KPK meminta publik untuk mencari dan tidak pernah menjelaskan secara meyakinkan, upaya apa yang dilakukan," jelas Febri.
Febri mengingatkan aparat penegak hukum agar bekerja secara independen. Ia khawatir lembaga hukum akan semakin rawan dimanfaatkan untuk kepentingan politik menjelang pemilu 2024.
Di samping itu, ia juga menyoroti pemberantasan korupsi yang kurang memperhatikan korban. Karena itu, ia mengusulkan agar aparat memberi perhatian kepada korban korupsi dan kejahatan, serta memulihkan kembali hak korban. [sm/em]