Miskin dan kurang berpendidikan, itulah kondisi Sumarti Ningsih.
Perempuan kelahiran 22 April 1991 ini hanya mengenyam pendidikan sampai Sekolah Dasar yang dia selesaikan pada 2004. Orangtuanya meminta Ningsih untuk terus sekolah, tetapi dia yang ketika itu masih berusia 13 tahun tahu bahwa keduanya tidak memiliki cukup uang.
Selepas SD, Ningsih memutuskan untuk bekerja pertama kali dengan merantau ke Jakarta.
Kepada VOA, Suratmi, ibu dari Ningsih bercerita panjang lebar, mengenai bagaimana anak perempuannya itu kemudian berpindah-pindah kerja dari Jakarta, Bandung, hingga ke Bangka Belitung.
Ningsih bekerja sebagai perawat bayi. Di Bangka Belitung, dia bertemu seorang laki-laki dan kemudian hamil. Dalam usia kehamilan 2 bulan, Ningsih pulang ke Cilacap. Laki-laki yang memberinya anak itu, ternyata sudah memiliki istri di Semarang, Jawa Tengah. Mereka kemudian menikah siri, namun seminggu setelah Ningsih melahirkan pada November 2009, pria itu pergi dan tak pernah terdengar kabarnya lagi.
Terbelit kemiskinan, dengan bayi laki-laki yang membutuhkan biaya perawatan, Ningsih akhirnya memutuskan untuk kembali merantau. Dia kembali bekerja di Jakarta ketika bayinya baru berumur 40 hari. Tahun 2011, ia pergi ke Hong Kong melalui sebuah perusahaan pengirim buruh migran.
“Ya, karena orangtuanya ini orang yang nggak punya, kurang segala-galanya. Dia juga sudah punya anak, punya suami nggak jelas, jadi ya, nekat ke luar negeri untuk menghidupi anaknya, orangtua sama saudaranya. Soalnya cari rezeki di Indonesia hasilnya kurang, nggak seberapa. Jadi ya, mana yang hasilnya besar yang dia cari, jadi akhirnya ke Hong Kong," ujar Suratmi.
Di Hong Kong, Ningsih pertama kali bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Menurut Suratmi, anaknya rajin berkirim uang ke rumah meskipun jumlahnya tak pasti, antara Rp 3 juta sampai Rp 6 juta.
Dari kiriman uang itulah, kebutuhan anak Ningsih dipenuhi, demikian juga dengan kebutuhan orangtua dan adiknya.
Namun nasib berkata lain. Tanggal 1 November 2014, mayat Ningsih ditemukan membusuk di dalam sebuah koper. Dia diduga dibunuh bankir Inggris bernama Rurik Jutting. Polisi memperkirakan, Ningsih dibunuh lima hari sebelum ditemukan. Selain mayatnya, ditemukan pula Seneng Mujiasih, buruh migran lain, yang tergeletak bersimbah darah di apartemen mewah milik Jutting.
Jutting sendiri saat ini sedang mengalami persidangan di Pengadilan Tinggi Hong Kong, di mana sejumlah rekaman video tindakan kejinya diputar di depan para juri.
“Anak saya ini ibarat tulang punggung, kerjanya di Bandung, Jakarta, di Bangka Belitung pernah. Biasanya kerja perawat bayi. Pertama berangkat ke Hong Kong dua tahun, 8 bulan baru pulang. Terus di rumah sekitar dua bulan, berangkat lagi ke Hong Kong empat bulan, terus pulang. Berangkat lagi ke Hong Kong, mau pulang sudah beli tiket tahu-tahu saya dengar sudah dianiaya orang," ujarnya.
Menurut Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Cilacap adalah daerah pengirim buruh migran terbesar ketiga di Indonesia, setelah Lombok Timur di Nusa Tenggara Barat, dan Indramayu di Jawa Barat. Jumlahnya lebih dari 16.000 orang dengan uang yang dikirimkan ke kampung halaman mencapai kisaran Rp. 500 miliar sampai Rp 700 miliar setahun.
Koordinator Jaringan Buruh Migran Indonesia di Hong Kong, Sringatin, kepada VOA menyebutkan, kematian Sumarti Ningsih adalah juga berarti hilangnya tulang punggung sebuah keluarga di Indonesia.
Dampaknya tidak hanya pada satu jiwa yang hilang, tetapi pada keluarga besar yang memperoleh dukungan pendapatan selama buruh migran bekerja di luar negerim ujarnya. Dalam kasus Sumarti Ningsih, kata Sringatin, beban kemiskinan akan kembali menimpa, terutama pada anaknya yang kini baru berumur tujuh tahun.
Pemerintah harus belajar dari kasus ini, dan mengambil langkah yang cukup untuk menjamin nasib keluarga buruh migran korban pembunuhan, tambahnya.
“Sumarti Ningsih dan Seneng Mujiasih sama-sama korban. Korban kemiskinan dan juga korban kegagalan negara menyediakan lapangan pekerjaan yang layak bagi perempuan pedesaan. Juga korban sistem migrasi paksa dan penempatan yang buruk oleh pemerintah Indonesia yang sangat eksploitatif. Seperti dipaksa masuk PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia) dengan potongan gaji yang sangat tinggi. Dan kadang mereka juga tidak memegang paspor, seperti kasus Sumarti Ningsih, yang paspornya ditahan oleh agen," ujar Sringatin.
Ia mendesak pemerintah melakukan evaluasi peraturan penempatan buruh migran, yang gagal menjamin keselamatan mereka ketika bekerja di luar negeri.
Pemerintah harus menjamin adanya sistem penempatan yang lebih baik, dan dalam kasus di mana buruh migran menjadi korban tindakan kriminal di negara manapun itu terjadi, ada mekanisme yang mampu memberikan jaminan keadilan bagi keluarga korban, ujarnya. [hd]