Seluruh warga negara Indonesia yang saat ini berada di Sudan dipastikan berada dalam kondisi aman, di tengah meningkatnya gejolak politik dan keamanan di negara itu.
Lewat pesan teks, Duta Besar Indonesia Untuk Sudan Sunarko mengatakan “seluruh WNI yang sebagian besar adalah mahasiswa terpantau aman dan tetap berada di tempat tinggal masing masing.”
Tercatat ada 1.209 warga Indonesia yang menetap di Sudan, sebagian besar adalah mahasiswa yang sedang menuntut ilmu.
Dalam pernyataan tertulisnya, KBRI di Khartoum menyatakan “masih terus memantau situasi dan telah mengeluarkan imbauan kepada masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan dan menghindari titik-titik rawan.” Ditambahkan, KBRI juga terus mengintensifkan komunikasi dgn masyarakat Indonesia dan membuka layanan call center 24 jam di nomor: +249 90 797 8701, dan +249 90 007 9060.
Pertempuran Pecah Sejak Sabtu, Sedikitnya 61 Tewas, 670 Luka
Pertempuran antara pasukan pemerintah Sudan dan pasukan paramiliter yang kuat “Rapid Support Forces” tak terhindarkan di ibu kota Khartoum sejak Sabtu (15/4), dan meluas ke kota-kota lain di sekitarnya.
Kantor berita Associated Press melaporkan jumlah tentara dan personil paramiliter yang terlibat baku tembak itu pada masing-masing pihak diperkirakan mencapai seribu orang. Foto-foto satelit yang dirilis Maxar Technologies pada Minggu (16/4) menunjukkan sejumlah kebakaran gedung, bandara dan jalur kereta api di Khartoum. Termasuk diantaranya beberapa pesawat di bandara internasional Khartoum, markas besar komando angkatan bersenjata Sudan, kantor Kementerian Pertahanan dan sebuah rumah sakit.
The Sudan Doctor’s Syndicate mengatakan pada hari Minggu ini saja sedikitnya lima warga sipil tewas dan 78 lainnya luka-luka; menambah jumlah korban dalam pertempuran selama dua hari ini menjadi 61 orang tewas dan lebih dari 670 luka-luka. Mereka meyakini puluhan orang dari kelompok yang bertikai juga telah tewas.
Bentrokan di Sudan itu merupakan bagian dari perebutan kekuasaan antara panglima Angkatan Bersenjata Sudan Jendral Abdel-Fattah Burhan dan kepala pasukan paramiliter “Rapid Support Forces” Jendral Mohammed Hamdan Dagalo. Sejak pertempuran terjadi, kedua pihak mengklaim telah menguasai sejumlah institusi penting dan fasilitas militer strategis. Kedua jendral ini adalah mantan sekutu yang bersama-sama merancang kudeta militer pada Oktober 2021.
Kedua jendral ini telah bersumpah untuk tidak pernah berunding atau melakukan gencatan senjata, meskipun tekanan diplomatik global terus meningkat.
Pertempuran ini kembali menunda kesepakatan diantara partai-partai politik di Sudan untuk mengembalikan negara itu ke transisi menuju demokrasi, yang dirusak oleh kudeta militer pada Oktober 2021 lalu. [em/jm]
Forum