Oktober lalu, Amerika mencabut embargo perdagangan yang diberlakukan selama 20 tahun terhadap Sudan karena menganggap negara itu telah membuat kemajuan atas catatan penegakan hak-hak asasi manusia (HAM). Tetapi Amerika masih menggolongkan negara itu sebagai negara yang mensponsori terorisme.
Embargo itu sebelumnya melarang bank-bank Sudan menerima transfer dana dari luar negeri.
Namun Menteri Keuangan Sudan Mohammed Osman al-Rikabi mengatakan, Selasa (2/1), Sudan tidak mendapat keuntungan dari pencabutan sanksi itu dan bank-bank di seluruh dunia masih enggan melakukan bisnis dengan negaranya.
Komentar Rikabi tersebut disampaikan setelah Parlemen Sudan pada Minggu, 31 Desember 2017, menyetujui anggaran yang bertujuan mengurangi inflasi dari 34 persen menjadi 19,5 persen dan mengatasi mata uang Sudan yang telah didevaluasi.
Rikabi mengatakan masalah sesungguhnya yang dihadapi Sudan adalah nilai tukar mata uangnya. Pada 1 Januari, nilai tukar pound Sudan terhadap dolar Amerika adalah 8 pound per dolar, dibandingkan 6,9 pound per dolar pada Desember.
Perekonomian Sudan yang bergantung pada minyak terus merosot setelah Sudan Selatan memisahkan diri 2011. Sudan Selatan menghasilkan tiga perempat pendapatan minyak Sudan.
Konflik dan pemberontakan yang terus berlanjut di negara ini, terutama di wilayah Darfur dan negara bagian Kordofan, yang tidak kunjung henti juga menyeret perekonomian Sudan ke dalam keterpurukan lebih jauh lagi.
Pemerintah Sudan juga menghadapi demonstrasi warga yang menentang pengurangan subsidi dan peningkatan harga komoditas tertentu.[my/jm]