Sudah 13 tahun berlalu sejak aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib meregang nyawa akibat racun arsenik dalam pesawat menuju ke Amsterdam, Belanda. Namun, siapa sebenarnya para pelaku pembunuhan Munir masih belum terang benderang.
Mantan pilot Garuda Polycarpus Budihari Prijanto, yang dinyatakan terbukti bersalah meracuni Munir, sudah bebas setelah menjalani delapan tahun dari 14 tahun penjara vonis dijatuhkan pengadilan.
Mantan petinggi Badan Intelijen Negara (BIN) Mayor Jenderal Purnawirawan Muchdi PR pun sempat diadili; meskipun akhirnya dinyatakan bebas pada 31 Desember 2008 oleh PN Jakarta Selatan dan dinyatakan tidak terlibat dalam pembunuhan Munir.
Suciwati, janda dari mendiang Munir, pun tidak kuasa menahan emosinya ketika ditanya mengenai keseriusan pemerintah Presiden Joko Widodo mengusut tuntas kasus kematian suaminya tersebut. Seusai diskusi memperingati 13 tahun kematian Munir di Jakarta hari Selasa (5/9), Suciwati mengatakan Presiden Joko Widodo tidak serius menyelesaikan kasus pembunuhan Munir dan pelanggaran-pelanggaran HAM lainnya.
Dia bahkan menilai Joko Widodo tidak memenuhi janji menuntaskan penyidikan kasus pembunuhan mantan koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) tersebut. Suciwati mengatakan akan terus mendorong penuntasan penyelidikan, dan akan tetap melakukannya meski tidak bertemu langsung presiden.
"Sebetulnya nggak penting ketemu (Presiden Joko Widodo) itu. Buat saya adalah bagaimana sebagai seorang presiden yang punya tanggung jawab dari apa yang sederhana aja, yang sudah diucapkan oleh dia, itu aja. Dan (hingga) hari ini yang dia ucapkan sendiri tidak direalisasi," tandas Suciwati.
Suciwati menilai Presiden Joko Widodo selama tiga tahun berkuasa tidak memprioritaskan masalah penyelesaian pelanggaran HAM. Ia merujuk pada pidato kenegaraan 16 Agustus lalu di mana Jokowi sama sekali tidak menyinggung masalah penegakan HAM di Indonesia. Padahal ketika berkampanye isu HAM menjadi salah satu janji pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia yang juga mantan anggota Tim pencari Fakta Kasus Munir - Usman Hamid – sependapat dengan Suciwati. Ia menilai pemerintahan saat ini pun tidak serius mengusut tuntas perkara pembunuhan Munir. Menurutnya, Kejaksaan Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia sedianya mencari bukti-bukti baru agar kasus kematian Munir bisa dibuka kembali. Atau memulai penyelidikan baru untuk mencari tersangka-tersangka baru.
Lebih lanjut Usman Hamid mengatakan dalam amar putusan yang membebaskan Muchdi PR pada akhir 2008, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan Polycarpus tidak bekerja sendirian dalam operasi intelijen buat melenyapkan Munir.
"Lalu siapa yang bertanggung jawab atas operasi intelijen itu. Siapa yang menjalankan operasi intelijen itu, pejabat intelijen yang mana? Yang sebelumnya dipercaya oleh jaksa dan polisi adalah Muchdi PR, Deputi V (BIN). Ketika di persidangan ada banyak alat bukti, mungkin tidak meyakinkan para hakim karena saksi-saksinya mencabut kesaksiannya. Harusnya kan dicari tahu kenapa mereka mencabut kesaksian. Salah satu penyebab utamanya adalah mereka diintimidasi," ujar Usman.
Dalam refleksi 13 tahun kematian Munir tersebut, Koordinator Kontras Yati Andriyani mengatakan dirinya dan para aktivis hak asasi manusia menempatkan Munir sebagai semangat dan simbol perjuangan hak asasi manusia serta ketidakadilan.
"Sayang sekali di negara ini, 19 tahun kita reformasi tapi watak kekuasaan hari ini masih menempatkan Munir sebagai ancaman. Munir dengan segala simbol dan spiritnya sebagai sebuah ketakutan, mimpi buruk. Munir tidak ditempatkan sebagai ptriotik sudah berkontribusi luas dalam kemajuan hak asasi manusia di Indonesia. Karena watak kekuasaan memandang seperti itu, maka pengungkapan kasus Munir sampai hari ini masih terus ditutupi," tukas Yati.
Yati menyayangkan pemerintahan Joko Widodo yang tak kunjung menyampaikan hasil penyelidikan Tim Pencari Fakta Kasus Munir kepada publik dengan alasan dokumen diserahkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2005 tersebut hilang. Alasan itu, menurut Yati, sangat janggal.
Sebelumnya Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara, Alexander Lay mengatakan dokumen TPF kasus Munir telah diterima oleh mantan presiden SBY tahun 2005, namun diakuinya bahwa Kementerian Sekretariat Negara tidak memiliki hasil dokumen investigasi kasus Munir tersebut.
"Bahwa memang Sekretariat Negara pada tahun 2005 tidak pernah menerima laporan TPF dan itu dibuktikan oleh Sekretariat Negara dengan menghadirkan daftar surat masuk tahun 2005 dan memang tidak ada dokumen yang namanya TPF. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Mensesneg sebelumnya Yusril Ihza Mahendra bahwa beliau memang tidak menerima salinan TPF tersebut," kata Alexander.
Koordinator Kontras Yati Andriyani juga menyesalkan pula keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara dan Mahkamah Agung yang menyatakan karena tidak ada bukti pengarsipan dokumen hasil penyelidikan Tim Pencari Fakta Kasus Munir, maka Presiden Joko Widodo tidak memiliki kewajiban untuk mengumumkan hasil investigasi itu. [fw/em]