SINGAPURA —
Setiap hari, lewat matanya yang terselubung glaukoma, Peter, 54, melihat daya beli yang ditimbulkan keberhasilan ekonomi Singapura, dengan kesadaran bahwa ia hanya bisa menyaksikannya.
Petugas keamanan sebuah pusat perbelanjaan itu merupakan bagian dari masalah tersembunyi di negara kota tersebut – peningkatan jumlah orang miskin yang termarjinalkan di salah satu kota termahal di dunia itu.
Partai politik yang telah mengatur negara itu sejak kemerdekaan pada 1965 selalu mendengung-dengungkan pentingnya swadaya. Namun bagi sejumlah orang, biaya merawat diri telah jauh lebih tinggi daripada kemampuan mereka.
Peter khawatir ia tidak dapat mengobati glaukoma yang diidapnya, sebuah kondisi yang dapat mengancam penglihatannya, meski ia memenuhi kriteria untuk mendapatkan operasi secara subsidi dan manfaat-manfaat dari negara lainnya.
Ia diberitahu bahwa pengobatan dapat menghabiskan lebih dari S$4.000 (US$3.200), namun kesakitan itu hanya membuatnya berkualifikasi untuk mendapatkan S$1.700 maksimal dari asuransi kesehatan yang diberikan pemerintah.
Peter, yang meminta nama belakangnya disembunyikan karena tidak mendapat izin dari majikan untuk berbicara dengan media, berpenghasilan sekitar S$1.600 ($1.300) sebulan dengan bekerja di daerah Orchard Road yang mewah.
Setengah dari gajinya dipakai untuk membayar utang sebesar S$20.000 ketika kaki istrinya patah dua tahun lalu, serta untuk membayar cicilan apartemen mereka di kompleks perumahan publik.
“Kami tidak punya tabungan,” gumamnya, mengenang kembali bagaimana ia harus meminjam uang dari 18 orang setelah kecelakaan yang dihadapi istrinya.
Tabungan Wajib
Singapura mengoperasikan sistem tabungan wajib, yang ditambah dari kontribusi pemberi kerja atau majikan, untuk pensiun dan asuransi kesehatan melalui dana yang disebut CPF. Skema asuransi swasta juga tersedia.
Namun Mindshare, perusahaan media dan layanan pemasaran global, menemukan dalam sebuah survei tahun lalu bahwa 72 persen warga Singapura merasa mereka “tidak boleh sakit karena tidak mampu membayar biaya medis yang tinggi.”
Data dari 2002 sampai 2011 menemukan bahwa pemerintah membayar kurang dari sepertiga biaya perawatan kesehatan, sementara rata-rata negara-negara kaya anggota organisasi kerja sama ekonomi OECD menutup antara 60-70 persen biaya.
Semakin banyak warga yang merasa terpinggirkan dalam keberhasilan ekonomi Singapura telah mendorong Partai Aksi Masyarakat (PAP) untuk merombak tujuan-tujuannya.
Pada sebuah konvensi bulan ini, partai berkuasa tersebut mengeluarkan resolusi baru pertamanya dalam 25 tahun, berjanji untuk meningkatkan standar hidup untuk seluruh lapisan masyarakat, menciptakan pekerjaan-pekerjaan yang berkualitas, dan menyediakan perawatan kesehatan yang terjangkau.
Menteri Sosial dan Pembangunan Keluarga Chan Chun Sing mengatakan pemerintah siap membantu warga yang kesulitan membayar biaya medis, namun beberapa tidak sadar akan bantuan yang tersedia.
“Sangat sering terjadi bahwa orang-orang yang paling memerlukan bantuan tidak membaca koran, mengakses Internet atau bahkan tidak mengerti Bahasa Inggris,” ujarnya pada Parlemen bulan lalu.
“Mereka memerlukan orang yang berbicara dalam bahasa mereka, mengetuk pintu rumah mereka, memeriksa apakah mereka baik-baik saja, dan menjelaskan beberapa dari skema-skema bantuan ini pada mereka.”
Jumlah Miliarder Tumbuh, Kesenjangan Meningkat
Kekayaan negara meningkat dalam 10 tahun terakhir sejak negara kota itu memposisikan diri sebagai basis pajak kemewahan yang rendah bagi orang-orang yang sangat kaya dari seluruh dunia.
PDB per kapita sebesar S$65.048 melebihi Amerika Serikat dan Jerman, dan survei-survei menyoroti bagaimana Singapura, dengan populasi 5,4 juta orang, memiliki lebih banyak miliarder per kapita dibandingkan negara manapun. Lembaga The Economist Intelligence Unit menempatkannya sebagai kota termahal keenam di dunia.
Namun data yang diterbitkan CPF menunjukkan bahwa proporsi warga Singapura yang berpenghasilan kurang dari setengah rata-rata pendapatan, sebuah standar internasional untuk mengukur proporsi orang miskin, naik menjadi 26 persen pada 2011 dibandingkan dengan 16 persen pada 2002.
“Sebagai salah satu negra terkaya di dunia, kita mampu berbuat lebih baik,” ujar lembaga amal Caritas Singapore, saat meluncurkan kampanye untuk menyoroti kesulitan orang miskin.
Sekitar 12 persen dari dua juta warga Singapura yang bekerja berpenghasilan kurang dari $1.000 (sekitar Rp 8 juta) per bulan. Padahal menurut Hui Weng Tat, profesor madya bidang ekonomi di Lee Kuan Yew School of Public Policy, seorang pekerja perlu minimum $1.400-$1.500 per bulan untuk dapat menutupi biaya hidup.
Koefisian Gini untuk Singapura, sebuah ukuran ketidaksetaraan pendapatan, mencapai 0,478 pada 2012, menurut data-data pemerintah, lebih tinggi daripada ekonomi-ekonomi maju lainnya selain Hong Kong.
Tidak seperti Hong Kong, Singapura belum menetapkan garis kemiskinan yang resmi, dan pemerintah telah menolak desakan untuk memperkenalkan upah minimum.
Hal ini menyulitkan perusahaan-perusahaan untuk merekrut orang asing bergaji rendah, mengetatkan persyaratan untuk mendongkrak upah di garis bawah, dan mengubah undang-undang tenaga kerja untuk memberikan keamanan kerja yang lebih baik.
Ada juga rencana-rencana untuk meningkatkan jaminan sosial dan meningkatkan anggaran perawatan kesehatan. Dan meski Singapura tidak akan meningkatkan pajak pendapatan dalam waktu dekat, negara itu telah menaikkan pajak untuk mobil yang lebih besar dan rumah mewah.
“Ada banyak hal yang harus dilakukan,” ujar Menteri Keuangan Tharman Shanmugaratnam baru-baru ini. "Saya tidak puas dengan situasi sekarang ini." (Reuters/Kevin Lim)
Petugas keamanan sebuah pusat perbelanjaan itu merupakan bagian dari masalah tersembunyi di negara kota tersebut – peningkatan jumlah orang miskin yang termarjinalkan di salah satu kota termahal di dunia itu.
Partai politik yang telah mengatur negara itu sejak kemerdekaan pada 1965 selalu mendengung-dengungkan pentingnya swadaya. Namun bagi sejumlah orang, biaya merawat diri telah jauh lebih tinggi daripada kemampuan mereka.
Peter khawatir ia tidak dapat mengobati glaukoma yang diidapnya, sebuah kondisi yang dapat mengancam penglihatannya, meski ia memenuhi kriteria untuk mendapatkan operasi secara subsidi dan manfaat-manfaat dari negara lainnya.
Ia diberitahu bahwa pengobatan dapat menghabiskan lebih dari S$4.000 (US$3.200), namun kesakitan itu hanya membuatnya berkualifikasi untuk mendapatkan S$1.700 maksimal dari asuransi kesehatan yang diberikan pemerintah.
Peter, yang meminta nama belakangnya disembunyikan karena tidak mendapat izin dari majikan untuk berbicara dengan media, berpenghasilan sekitar S$1.600 ($1.300) sebulan dengan bekerja di daerah Orchard Road yang mewah.
Setengah dari gajinya dipakai untuk membayar utang sebesar S$20.000 ketika kaki istrinya patah dua tahun lalu, serta untuk membayar cicilan apartemen mereka di kompleks perumahan publik.
“Kami tidak punya tabungan,” gumamnya, mengenang kembali bagaimana ia harus meminjam uang dari 18 orang setelah kecelakaan yang dihadapi istrinya.
Tabungan Wajib
Singapura mengoperasikan sistem tabungan wajib, yang ditambah dari kontribusi pemberi kerja atau majikan, untuk pensiun dan asuransi kesehatan melalui dana yang disebut CPF. Skema asuransi swasta juga tersedia.
Namun Mindshare, perusahaan media dan layanan pemasaran global, menemukan dalam sebuah survei tahun lalu bahwa 72 persen warga Singapura merasa mereka “tidak boleh sakit karena tidak mampu membayar biaya medis yang tinggi.”
Data dari 2002 sampai 2011 menemukan bahwa pemerintah membayar kurang dari sepertiga biaya perawatan kesehatan, sementara rata-rata negara-negara kaya anggota organisasi kerja sama ekonomi OECD menutup antara 60-70 persen biaya.
Semakin banyak warga yang merasa terpinggirkan dalam keberhasilan ekonomi Singapura telah mendorong Partai Aksi Masyarakat (PAP) untuk merombak tujuan-tujuannya.
Pada sebuah konvensi bulan ini, partai berkuasa tersebut mengeluarkan resolusi baru pertamanya dalam 25 tahun, berjanji untuk meningkatkan standar hidup untuk seluruh lapisan masyarakat, menciptakan pekerjaan-pekerjaan yang berkualitas, dan menyediakan perawatan kesehatan yang terjangkau.
Menteri Sosial dan Pembangunan Keluarga Chan Chun Sing mengatakan pemerintah siap membantu warga yang kesulitan membayar biaya medis, namun beberapa tidak sadar akan bantuan yang tersedia.
“Sangat sering terjadi bahwa orang-orang yang paling memerlukan bantuan tidak membaca koran, mengakses Internet atau bahkan tidak mengerti Bahasa Inggris,” ujarnya pada Parlemen bulan lalu.
“Mereka memerlukan orang yang berbicara dalam bahasa mereka, mengetuk pintu rumah mereka, memeriksa apakah mereka baik-baik saja, dan menjelaskan beberapa dari skema-skema bantuan ini pada mereka.”
Jumlah Miliarder Tumbuh, Kesenjangan Meningkat
Kekayaan negara meningkat dalam 10 tahun terakhir sejak negara kota itu memposisikan diri sebagai basis pajak kemewahan yang rendah bagi orang-orang yang sangat kaya dari seluruh dunia.
PDB per kapita sebesar S$65.048 melebihi Amerika Serikat dan Jerman, dan survei-survei menyoroti bagaimana Singapura, dengan populasi 5,4 juta orang, memiliki lebih banyak miliarder per kapita dibandingkan negara manapun. Lembaga The Economist Intelligence Unit menempatkannya sebagai kota termahal keenam di dunia.
Namun data yang diterbitkan CPF menunjukkan bahwa proporsi warga Singapura yang berpenghasilan kurang dari setengah rata-rata pendapatan, sebuah standar internasional untuk mengukur proporsi orang miskin, naik menjadi 26 persen pada 2011 dibandingkan dengan 16 persen pada 2002.
“Sebagai salah satu negra terkaya di dunia, kita mampu berbuat lebih baik,” ujar lembaga amal Caritas Singapore, saat meluncurkan kampanye untuk menyoroti kesulitan orang miskin.
Sekitar 12 persen dari dua juta warga Singapura yang bekerja berpenghasilan kurang dari $1.000 (sekitar Rp 8 juta) per bulan. Padahal menurut Hui Weng Tat, profesor madya bidang ekonomi di Lee Kuan Yew School of Public Policy, seorang pekerja perlu minimum $1.400-$1.500 per bulan untuk dapat menutupi biaya hidup.
Koefisian Gini untuk Singapura, sebuah ukuran ketidaksetaraan pendapatan, mencapai 0,478 pada 2012, menurut data-data pemerintah, lebih tinggi daripada ekonomi-ekonomi maju lainnya selain Hong Kong.
Tidak seperti Hong Kong, Singapura belum menetapkan garis kemiskinan yang resmi, dan pemerintah telah menolak desakan untuk memperkenalkan upah minimum.
Hal ini menyulitkan perusahaan-perusahaan untuk merekrut orang asing bergaji rendah, mengetatkan persyaratan untuk mendongkrak upah di garis bawah, dan mengubah undang-undang tenaga kerja untuk memberikan keamanan kerja yang lebih baik.
Ada juga rencana-rencana untuk meningkatkan jaminan sosial dan meningkatkan anggaran perawatan kesehatan. Dan meski Singapura tidak akan meningkatkan pajak pendapatan dalam waktu dekat, negara itu telah menaikkan pajak untuk mobil yang lebih besar dan rumah mewah.
“Ada banyak hal yang harus dilakukan,” ujar Menteri Keuangan Tharman Shanmugaratnam baru-baru ini. "Saya tidak puas dengan situasi sekarang ini." (Reuters/Kevin Lim)