Parlemen Singapura hari Rabu (21/3) telah mengesahkan RUU yang melarang media mengadakan liputan langsung apabila terjadi serangan teroris.
Kantor berita AFP melaporkan, kelompok-kelompok masyarakat madani menyuarakan keprihatinan atas penggunaan istilah “insiden serius” yang akan memungkinkan penguasa membungkam aksi-aksi protes damai.
UU kontroversial yang disahkan oleh parlemen Singapura itu memberi kekuasaan kepada penguasa untuk memblokir semua komunikasi elektronik di tempat kejadian serangan teroris, walaupun banyak protes yang mengatakan hal itu akan mengikis kebebasan media untuk meliput berita.
Peraturan itu memungkinkan polisi menghentikan siapapun masuk ke kawasan yang mereka anggap sebagai “tempat kejadian serius”, termasuk serangan teroris. Siapapun tidak diperbolehkan mengambil foto atau video atau menggunakan alat komunikasi elektronik untuk melaporkan kegiatan polisi, baik lewat pesan telpon atau teks.
Pemerintah Singapura mengklaim bahwa kawasan keuangan yang makmur di negara kota itu adalah sasaran utama serangan militan, dan dalam serangan-serangan di tempat lain, siaran langsung TV dan radio secara tidak sengaja telah membantu para penyerang untuk mengantisipasi langkah polisi selanjutnya. Pelaporan oleh wartawan masih diizinkan, asal bukan untuk disiarkan langsung.
“Kami akan mengizinkan media tertentu masuk ke kawasan dimana terjadi insiden, tapi hanya untuk disiarkan kemudian, kata Josephine Teo, wakil menteri dalam negeri Singapura kepada parlemen.
Para aktivis mengatakan, peraturan itu bisa lebih merusak kebebasan pers yang sudah dianggap lemah di Singapura. Tapi Josephine Teo mengatakan, tindakan itu hanya akan diberlakukan di kawasan tertentu dan larangan akan dicabut setelah operasi keamanan selesai.
“Pelaporan oleh media masih diizinkan, tapi bukan untuk siaran langsung,” katanya.
Anggota parlemen Singapura dengan suara mayoritas mengesahkan RUU itu. Parlemen dikuasai oleh People’s Action Party, yang telah memerintah Singapura selama lebih dari lima dasawarsa.
Pers dalam negeri dikontrol ketat oleh pemerintah. Kelompok Wartawan Tanpa Tapal Batas menempatkan Singapura pada peringkat 151 dari 180 negara yang terdapat dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia.
Kelompok-kelompok masyarakat madani juga menyatakan keberatan atas penggunaan istilah “insiden serius” yang kabur, yang bisa menjurus pada pengambilan tindakan atas aksi-aksi protes yang dilakukan dengan damai. [ii]