Perdana Menteri Inggris Boris Johnson melancarkan perlawanan gigih setelah mengalami serangkaian kekalahan, termasuk pukulan telak dari Mahkamah Agung (MA) Inggris. Sementara sikap agresifnya membuat kesal pihak tertentu, mungkin memang itu tujuan Johnson.
Strateginya tampaknya mudah dibaca: kecam Parlemen dan sebut mereka sebagai sekelompok politisi lemah yang pro-Uni Eropa serta tidak mau mematuhi mandat rakyat Inggris untuk menarik negara dari Uni Eropa.
Dia kemungkinan tidak bisa merealisasi janjinya untuk melaksanakan Brexit pada 31 Oktober, tetapi dia telah memposisikan dirinya untuk menghadapi kemungkinan pemilihan. Johnson juga mengecam parlemen serta juga Uni Eropa yang dianggap bersikeras tidak mau melepaskan Inggris dari blok itu.
Ketika Johnson berusaha menyiapkan arena politik untuk pertarungan “Rakyat versus Parlemen”, namun pada kenyataannya Inggris terpecah sehubungan kearifan untuk meninggalkan Uni Eropa. Perdebatan semakin sengit dan diliputi kemarahan, khususnya setelah MA Inggris secara bulat menyatakan Perdana Menteri Inggris itu bertindak secara ilegal ketika menghentikan operasi Parlemen selama lima minggu.
Pada Rabu (25/9), ketika berlangsung sesi yang diliputi kekacauan, Johnson menolak minta maaf atas pelanggaran hukumnya. Pada kesempatan yang sama, dia juga menuduh lawan-lawan politiknya hanya ingin “mengalah” dan “penghinaan” serta mengkhianati rakyat setelah tiga tahun yang lalu mereka dengan selisih kecil memilih untuk keluar dari Uni Eropa.
Dia juga menantang lawan-lawannya untuk mengajukan mosi tidak percaya dan memicu sebuah pemilihan baru, meskipun tidak seorangpun berhasil dikecohkan dengan siasat itu. [jm/pp]