Direktorat Polisi Perairan dan Udara (Ditpolairud) Polda Sulteng, Selasa pagi (10/12/2019) melepaskan 21 ekor penyu sisik (Eretmochelys imbricata) ke laut teluk Palu. Dua puluh satu ekor penyu sisik yang statusnya sebagai biota laut yang dilindungi tersebut sebelumnya disita dari sebuah kapal nelayan di perairan Banggai Kepulauan. Penyu Sisik dan Penyu hijau (Chelonia mydas) adalah dua jenis penyu yang biasa ditangkap secara ilegal di perairan laut Sulawesi Tengah untuk dikonsumsi.
Dari atas Kapal Ditpolairud Polda Sulteng 21 ekor penyu sisik secara satu persatu dilepaskan ke laut teluk Palu. Kura-kura laut itu disita Polisi dari sebuah kapal tanpa nama yang sedang berlabuh di dermaga pelabuhan perairan Banggai Kepulauan pada 3 Desember 2019 silam. Polisi juga menangkap nahkoda kapal yang menjadi tersangka atas kepemilikan ilegal penyu tersebut. Dari 23 penyu yang disita sebagai barang bukti itu, dua di antaranya mati.
Wakil Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah Brigjen Nurwindiyanto mengatakan meskipun proses hukum terhadap pelaku sedang berjalan, namun barang bukti berupa penyu yang merupakan biota yang dilindungi, perlu segera dikembalikan ke laut. Ia mengakui keberhasilan Polisi mengamankan 23 ekor penyu sisik itu berkat dukungan masyarakat yang memberikan informasi terkait aktifitas perdagangan penyu secara ilegal tersebut kepada petugas Polisi Perairan dan Udara di Kabupaten Banggai Kepulauan.
“Kami sampai saat ini masih untuk pendalaman masalah tersebut namun karena barang bukti ini berupa makhluk hidup, sementara kita identifikasi dan langsung bisa kita lepaskan,” jelas Brigjend Nurwindiyanto di dermaga Ditpolairud Polda Sulawesi Tengah.
Polisi menduga penyu-penyu itu hendak dijual untuk kepentingan konsumsi. Di pasar gelap, harga satu ekor penyu paling rendah adalah 600 ribu rupiah per kilogramnya. Sepanjang tahun 2019, Polda Sulawesi Tengah berhasil mengungkap dua kasus perdagangan penyu ilegal.
“Sekitar 600 ribu sekilo katanya, mulai ya, jadi ini sangat ekonomis,” kata Brigjend Nurwindiyanto.
Kepala Bidang Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan pada Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sulteng Agus Sudaryanto memperkirakan usia penyu sisik yang dilepaskan ke laut teluk Palu tersebut sudah di atas 20 tahun berdasarkan berat per ekornya yang rata-rata antara 15-20 kilogram. Menurut Agus, masih terjadinya praktek penangkapan penyu di perairan Sulawesi Tengah diakibatkan pola konsumsi masyarakat di tempat-tempat tertentu yang menggemari masakan daging penyu. Penyu hijau dan penyu sisik adalah dua jenis penyu yang paling sering ditangkap di perairan Sulawesi Tengah.
“Ada beberapa lokasi yang memang kita identifikasi rawan karena masyarakatnya masih suka mengkonsumsi contoh ya, saya tidak menjustifikasi, di Morowali,” ungkap Agus Sudaryanto.
Untuk menekan upaya penyelundupan serta penangkapan penyu, pihaknya telah mendirikan sejumlah pos pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan di wilayah kabupaten Banggai Laut, kabupaten Banggai Kepulauan dan Kabupaten Morowali. Pengawasan dilakukan dengan melakukan patroli di laut serta pemeriksaan kendaraan yang melintasi jalan trans sulawesi di perbatasan Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.
Dia mengatakan berkat kerjasama dari berbagai pihak termasuk dengan pihak Kepolisian dan masyarakat, menyebabkan penurunan kasus penangkapan penyu ilegal pada tahun 2019 yang hanya ada dua kasus dari rata-rata tiga hingga empat kasus pada tahun-tahun sebelumnya.
Ingatkan Dampak Kesehatan Bila Sering Konsumsi Daging Penyu
Agus menyebutkan ada konsekuensi terhadap kesehatan manusia bila sering mengkonsumsi daging penyu dalam waktu yang lama. Berdasarkan penelitian, ia menyebutkan, daging penyu mengandung bakteri yang bisa memicu kanker kulit terhadap manusia.
“Jadi kami juga baru tahu, ternyata setelah diteliti oleh para peneliti dari luar itu dan sudah ada kasus bahwa ternyata orang yang mengkonsumsi penyu dalam waktu lama itu menimbulkan pertumbuhan sel yang tidak sehat dibadannya, bintil-bintil gini segala macam,” ungkap Agus.
Hasil penelitian itu nantinya akan disosialisasikan oleh pihaknya kepada masyarakat di Sulawesi Tengah, yang diharapkan akan menjadi pengetahuan untuk menekan penangkapan penyu hijau dan penyu sisik di perairan laut Sulawesi Tengah.
Situs berita lingkungan, Mongabay menyebutkan semua jenis penyu, kecuali penyu pipih, dimasukkan dalam hewan yang dilindungi baik oleh peraturan nasional maupun internasional. Badan konservasi dunia (IUCN) memasukkan penyu belimbing, penyu kemp’s ridley dan penyu sisik sebagai satwa sangat terancam punah (critically endangered). Sementara penyu hijau, penyu lekang dan penyu tempayan digolongkan sebagai terancam punah (endangered).
CITES atau konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar spesies terancam, memasukkan semua jenis penyu dalam appendix I, yang artinya dilarang diperdagangkan untuk tujuan komersial.
Di Indonesia, semua jenis penyu dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, yang berarti perdagangan penyu dalam keadaan hidup, mati maupun bagian tubuhnya dilarang. Menurut UU No.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, pelaku perdagangan (penjual dan pembeli) satwa dilindungi seperti penyu itu bisa dikenakan hukuman penjara lima tahun dan denda Rp100 juta. Pemanfaatan jenis satwa dilindungi hanya diperbolehkan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan dan penyelamatan jenis satwa yang bersangkutan. [yl/ab]