JAKARTA —
Laporan dari lembaga swadaya masyarakat Setara Institute menunjukkan bahwa indeks kinerja penegakan hak asasi manusia (HAM) 2012 di Indonesia tidak menampakkan kemajuan yang signifikan.
Peneliti Setara Institute Ismail Hasani kepada VOA, Senin (3/12) mengatakan indeks kinerja penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, penghapusan diskriminasi, kebebasan berekspresi, kebebasan beragama dan berkeyakinan serta pemenuhan hak ekonomi sosial budaya masih sangat rendah.
Ia menyatakan selama ini tidak ada perbaikan yang signifikan yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait permasalahan tersebut. Situasi kebebasan beragama dan berkeyakinan yang sangat buruk pada 2011, misalnya, tidak membaik pada 2012, ujar Ismail.
Pemerintah juga telah melakukan pembiaran terhadap pelanggaran HAM masa lalu, menurut Ismail, padahal kasus pelanggaran HAM tersebut penting diselesaikan agar kasus yang serupa tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.
Pelanggaran HAM masa lalu yang dimaksud adalah kasus penghilangan orang secara paksa, kasus Trisakti, kasus Semanggi I dan II, kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib, serta kasus kekerasan di Wamena dan Wasior di Papua.
“Secara normatif memang ada kemajuan dengan adanya sejumlah peraturan perundang-undangan yang konstruktif mendukung penguatan kebebasan berekspresi. Tetapi kita juga mencatat kekerasan dan kriminalisasi terhadap jurnalis dan pembela hak asasi manusia,” ujar Ismail.
Untuk itu Setara Institute mendesak Presiden Yudhoyono untuk segera membangun kebijakan politik penegakan HAM yang akuntabel di Indonesia.
Ismail menilai kepemimpinan politik presiden Yudhoyono selama ini tidak efektif di dalam memperbaiki kondisi hak asasi manusia.
“Saya kira karena problem utamanya ada di level politik, maka langkah politiklah yang bisa menjawab persoalan ini, yakni dengan menunjukkan keberpihakan, kepemimpinan politik yang peduli terhadap hak asasi manusia, dan langkah-langkah penyusunan kebijakan dan pengawasan implementasi konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang ada,” ujar Ismail.
Dikeluarkan dalam rangka menyambut Hari HAM Internasional yang jatuh pada 10 Desember, laporan Setara Institute ini disusun berdasarkan pengukuran persepsi 100 ahli, termasuk akademisi, pegiat hak asasi manusia dan pihak pemerintah.
Di luar skor yang rendah tadi, Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia yang dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan HAM serta kinerja lembaga HAM seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Nasional untuk Kekerasan Terhadap Perempuan dan Komisi Perlindungan Anak mendapat skor yang baik.
Sementara itu, Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha menegaskan Presiden Yudhoyono sangat serius dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM.
Presiden, menurut Julian, juga memiliki komitmen yang besar dalam penegakan hak asasi manusia di Indonesia.
“Dapat dilihat selama pemerintahan Presiden tidak pernah ada kasus pelanggaran HAM berat yang sistematis,” ujarnya.
Peneliti Setara Institute Ismail Hasani kepada VOA, Senin (3/12) mengatakan indeks kinerja penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, penghapusan diskriminasi, kebebasan berekspresi, kebebasan beragama dan berkeyakinan serta pemenuhan hak ekonomi sosial budaya masih sangat rendah.
Ia menyatakan selama ini tidak ada perbaikan yang signifikan yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait permasalahan tersebut. Situasi kebebasan beragama dan berkeyakinan yang sangat buruk pada 2011, misalnya, tidak membaik pada 2012, ujar Ismail.
Pemerintah juga telah melakukan pembiaran terhadap pelanggaran HAM masa lalu, menurut Ismail, padahal kasus pelanggaran HAM tersebut penting diselesaikan agar kasus yang serupa tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.
Pelanggaran HAM masa lalu yang dimaksud adalah kasus penghilangan orang secara paksa, kasus Trisakti, kasus Semanggi I dan II, kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib, serta kasus kekerasan di Wamena dan Wasior di Papua.
“Secara normatif memang ada kemajuan dengan adanya sejumlah peraturan perundang-undangan yang konstruktif mendukung penguatan kebebasan berekspresi. Tetapi kita juga mencatat kekerasan dan kriminalisasi terhadap jurnalis dan pembela hak asasi manusia,” ujar Ismail.
Untuk itu Setara Institute mendesak Presiden Yudhoyono untuk segera membangun kebijakan politik penegakan HAM yang akuntabel di Indonesia.
Ismail menilai kepemimpinan politik presiden Yudhoyono selama ini tidak efektif di dalam memperbaiki kondisi hak asasi manusia.
“Saya kira karena problem utamanya ada di level politik, maka langkah politiklah yang bisa menjawab persoalan ini, yakni dengan menunjukkan keberpihakan, kepemimpinan politik yang peduli terhadap hak asasi manusia, dan langkah-langkah penyusunan kebijakan dan pengawasan implementasi konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang ada,” ujar Ismail.
Dikeluarkan dalam rangka menyambut Hari HAM Internasional yang jatuh pada 10 Desember, laporan Setara Institute ini disusun berdasarkan pengukuran persepsi 100 ahli, termasuk akademisi, pegiat hak asasi manusia dan pihak pemerintah.
Di luar skor yang rendah tadi, Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia yang dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan HAM serta kinerja lembaga HAM seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Nasional untuk Kekerasan Terhadap Perempuan dan Komisi Perlindungan Anak mendapat skor yang baik.
Sementara itu, Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha menegaskan Presiden Yudhoyono sangat serius dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM.
Presiden, menurut Julian, juga memiliki komitmen yang besar dalam penegakan hak asasi manusia di Indonesia.
“Dapat dilihat selama pemerintahan Presiden tidak pernah ada kasus pelanggaran HAM berat yang sistematis,” ujarnya.