Peneliti KontraS, Rivanlee Anandar, mengatakan kebebasan sipil semakin terancam pada satu tahun pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin. KontraS mencatat ada 157 peristiwa serangan terhadap kebebasan sipil dari Oktober 2019 hingga September 2020. Sebagian besar tersebut berupa penangkapan dan pembubaran aksi penyampaian pendapat dalam setahun terakhir.
"Dan biasanya diiringi juga dengan praktik penganiayaan, penyiksaan, intimidasi verbal dan nonverbal," jelas Rivanlee Anandar dalam konferensi pers online, Senin (19/10).
Rivanlee juga menyoroti pembiaran pemerintah terhadap tindakan represif aparat terhadap masyarakat sipil. Masyarakat menjadi korban terbanyak tindakan represif aparat, disusul mahasiswa dan jurnalis. Sementara dari sisi aktor, polisi menempati urutan pertama sebagai aktor utama dalam pembatasan sipil. Pemerintah juga tidak pernah mengevaluasi tindakan represif yang dilakukan aparat pada aksi-aksi pada tahun sebelumnya.
Rivanlee juga menyoroti fenomena pembungkaman terhadap masyarakat sipil di ranah siber mulai dari kasus peretasan, intimidasi, doxing (penyebaran informasi ke individu ke ruang publik -red) dan penyiksaan di ruang siber terhadap individu atau kelompok yang mengkritik pemerintah. KontraS mencatat setidaknya ada 15 kasus pembungkaman siber, enam di antaranya disertai ancaman dan penangkapan terhadap korban.
Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti, menambahkan lembaganya juga menyoroti pembuatan dan pengesahan sejumlah undang-undang oleh pemerintah dan DPR yang kurang transparan. Antara lain Undang-undang Minerba dan Undang-undang Cipta Kerja yang kontroversial di masyarakat.
"Situasi pandemi ini juga dijadikan momentum untuk meloloskan kebijakan yang kontroversial seperti RUU Cipta Kerja yang dilakukan diam-diam dan tidak partisipasif. Dan ini salah satu indikator Indonesia tidak menerapkan demokrasi secara komprehensif," jelas Fatia.
Fatia juga menyoroti kemandekan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat seperti Tragedi Talangsari, Semanggi, dan pembunuhan aktivis Munir Said Thalib, serta ketiadaan evaluasi militerisme di Papua yang telah menimbulkan 38 korban jiwa dalam setahun terakhir.
Menurut Fatia, rangkaian temuan tersebut menunjukkan kondisi demokrasi di Indonesia telah menurun. Itu juga diperkuat dengan ciri-ciri pemerintahan yang otoriter. Antara lain komitmen yang lemah terhadap demokrasi dan melihat lawan politik sebagai ancaman.
"Memberikan toleransi dan dorongan untuk melakukan kekerasan dengan melibatkan aparat keamanan dengan perekrutan Pam Swakarsa, perekrutan preman, pembentukan komponen cadangan. Ini akhirnya Indonesia kembali pada masa orde baru di mana militerisme dan sekuritisasi menjadi prioritas utama dalam membungkam suara oposisi," jelas Fatia.
VOA sudah meminta tanggapan atas temuan KontraS ini kepada Juru bicara Presiden Fadjroel Rachman. Namun, hingga berita ini diturunkan tidak ada tanggapan dari Fadjroel.
Di lain kesempatan, Menko Polhukam Mahfud Md menegaskan pemerintah tidak melarang unjuk rasa yang dilakukan masyarakat di berbagai tempat, termasuk yang akan dilakukan Selasa (20/10).
Menurutnya, penyampaian aspirasi masyarakat dijamin oleh konstitusi Indonesia. Namun, ia mengimbau peserta aksi untuk memberitahukan rencana unjuk rasa kepada polisi dan melakukan aksi dengan tertib.
"Tidak harus meminta izin, cukup memberitahu tempatnya di mana dan berapa orang yang akan dibawa perkiraannya. Harap tertib," jelas Mahfud dalam konferensi online, Senin (19/10).
Mahfud juga mengingatkan aparat keamanan untuk tidak membawa peluru tajam dan memperlakukan peserta aksi dengan manusiawi saat penjagaan aksi unjuk rasa menolak Undang-undang Cipta Kerja. [sm/ab]