Tautan-tautan Akses

Setahun Disahkan UU TPKS: Beri Pemajuan HAM dan Pengetahuan Publik Soal Kekerasan Seksual


FILE - Ketua DPR Puan Maharani menerima laporan dari Willy Aditya, Ketua Panitia Kerja RUU Penanggulangan Kekerasan Seksual (TPKS), usai disahkan DPR RI, di Jakarta, 12 April 2022. (Antara Foto/ Galih Pradipta/ via REUTERS)
FILE - Ketua DPR Puan Maharani menerima laporan dari Willy Aditya, Ketua Panitia Kerja RUU Penanggulangan Kekerasan Seksual (TPKS), usai disahkan DPR RI, di Jakarta, 12 April 2022. (Antara Foto/ Galih Pradipta/ via REUTERS)

Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) telah disahkan pada 9 Mei 2022. Setahun berlalu, UU TPKS dinilai telah memberi pemajuan hak asasi manusia (HAM) dan pengetahuan publik tentang kekerasan seksual. 

Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah, menilai kehadiran UU TPKS merupakan sejarah penting bagi pemenuhan hak asasi perempuan di Indonesia. Apalagi setelah UU TPKS disahkan sejak tahun lalu. UU TPKS dinilai kian memberikan pemajuan hak asasi perempuan. Seperti diketahui UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS resmi diundangkan pada Senin 9 Mei 2022 melalui Lembaran Negara Tahun 2022 Nomor 120.

“Sejarah penting ini tidak hanya memberikan makna pada pemajuan hak asasi perempuan. Tapi UU TPKS sesungguhnya sumber pengetahuan bagi publik tentang kekerasan seksual. Sebelumnya kasus-kasus kekerasan seksual itu di-update oleh Komnas Perempuan,” kata Anis dalam peringatan setahun UU TPKS di Jakarta, Kamis (11/5).

Kehadiran UU TPKS juga menjadi sumber pengetahuan baru bagi publik tentang apa arti sesungguhnya kekerasan seksual itu. Menurut Anis, bukan hanya publik tapi pemerintah dan lembaga lain juga makin paham terkait kekerasan seksual usai disahkannya UU TPKS.

Setahun Disahkan UU TPKS: Beri Pemajuan HAM dan Pengetahuan Publik Soal Kekerasan Seksual
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:51 0:00

“Tapi pasca ada UU TPKS pengetahuan publik dan pemerintah menjadi makin paham. Pasca adanya undang-undang ini, perkara yang dialami perempuan bisa didefinisikan sebagai TPKS. Jadi betapa penting kehadiran UU TPKS sebagai sumber pengetahuan baru untuk perempuan apa sesungguhnya kekerasan seksual itu,” ucapnya.

Masalah Tetap Membayangi

Namun di balik itu, masih ada sejumlah pihak yang menilai kasus kekerasan seksual terus menurun pasca pengesahan undang-undang itu. Anis pun menyatakan kasus TPKS akan selalu ada selama interaksi antar manusia masih terus terjadi.

“Setelah UU TPKS disahkan, banyak yang beranggapan bahwa kasus TPKS menurun. Tentu tidak. Makin banyak yang sadar. Makin banyak yang tahu bahwa ini adalah TPKS,” ujarnya.

Anis Hidayah, Kepala Pusat Studi Migrasi Migrant CARE.
Anis Hidayah, Kepala Pusat Studi Migrasi Migrant CARE.

Keberadaan UU TPKS juga telah menjadi instrumen pelindung bagi perempuan. Kini, perempuan makin percaya diri untuk berbicara terbuka ketika dirinya menjadi korban kekerasan seksual.

“Tidak hanya berani bicara, ada instrumen yang dipakai untuk melindungi perempuan dan menjerat para pelaku,” ungkap Anis.

Kemudian, makna disahkannya UU TPKS turut menguatkan gerakan masyarakat sipil dan perempuan untuk melawan kekerasan seksual. Sehingga makin banyak kasus-kasus TPKS yang terungkap ke publik yang selama ini hanya tersembunyi dan tertutup rapi.

Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, mengatakan meskipun UU TPKS telah memberikan pemajuan HAM dan pengetahuan publik soal kekerasan seksual. Namun masih ada sejumlah hambatan dalam penerapan UU TPKS yakni undang-undang ini belum disosialisasikan ke seluruh aparat penegak hukum.

Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi. (Foto: VOA/Nurhadi)
Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi. (Foto: VOA/Nurhadi)

“Aparat penegak hukum belum memahami unsur-unsur tindak pidana dalam UU TPKS,” kata Siti.

Kemudian, hambatan lain ada perbedaan pemahaman dan penafsiran UU TPKS dengan jaksa penuntut umum ketika menangani perkara kekerasa seksual. Dengan adanya perbedaan pemahaman itu tak jarang berkas perkara kekerasan seksual harus dikembalikan.

“Keluhan yang lain adalah mekanisme pendampingan korban dan saksi. Belum semua kota memiliki lembaga pendamping. Kemudian juga belum ada lembaga organisasi penyandang disabilitas. Itu belum tentu tersedia di semua kota,” jelas Siti.

Bukan hanya itu, mekanisme perlindungan korban, saksi, dan restitusi dengan Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK) juga belum sepenuhnya optimal dalam pelaksanaan UU TPKS.

“Karena selama ini LPSK bekerja sesuai UU Perlindungan Saksi dan Korban. Belum untuk pelaksanaan dengan UU TPKS. Mungkin masih berproses. Lalu, pendampingan yang belum membangun pemberdayaan hukum korban. Dalam arti ada pendamping yang hanya sekadar datang tapi tidak membangun upaya-upaya untuk korban berdaya,” tandas Siti.

Peraturan Pelaksanaan Diharapkan Selesai Segera

Nahar, Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak, Kemen PPPA.
Nahar, Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak, Kemen PPPA.

Sementara itu, Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Nahar, mengatakan proses penyusunan Peraturan Pelaksana UU TPKS diharapkan selesai sebelum dua tahun setelah disahkannya UU TPKS.

Berdasarkan mandat UU TPKS yang mewajibkan adanya 10 Peraturan Pelaksana berupa lima Peraturan Pemerintah (PP) dan lima Peraturan Presiden (Perpres). Namun melalui Kepres No 25 dan 26 Tahun 2022, saat ini tengah disusun tiga PP dengan penyusunan yang telah dimulai pada Juli 2022. Maka program penyusunan PP dan Perpres diharapkan akan selesai pada bulan Juni 2023.

“Sehingga UU TPKS yang dikawal oleh empat lembaga negara dapat menjadi terobosan dalam mewujudkan kolaborasi lembaga yang terpadu, inklusif, dan berkesinambungan. Dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual,” ucap Nahar. [aa/em]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG