Para pelaku serangan maut terhadap gereja di Filipina, Minggu lalu (27/1), diduga melakukannya sebagai protes menentang sebuah kawasan otonomi Muslim baru, yang sejauh ini tidak melibatkan para pemimpin di gugusan pulau terpencil di dekat lokasi ledakan itu.
Dua serangan bom menewaskan 20 orang dan mencederai 111 lainnya hari Minggu di sebuah gereja di Jolo, kota besar di provinsi Sulu. Kelompok pemberontak Muslim dukungan ISIS setempat, Abu Sayyaf, mengaku melakukan serangan yang terjadi enam hari setelah para pemilih di Sulu menolak tren yang terjadi di sebagian besar kawasan selatan Filipina. Mereka menentang undang-undang yang akan menciptakan kawasan otonomi Muslim terkuat di negara itu.
Ramon Casiple, direktur eksekutif organisasi advokasi Filipina, Institute for Political and Electoral Reform di Manila mengatakan, meskipun ada suara menentang yang kuat, hal tersebut tidak mempengaruhi hasil pemungutan suara.
Kawasan berpenduduk sekitar 4,3 juta orang itu akan menerima dana pemerintah dan kontrol lokal atas sumber daya. Akan tetapi para pemimpinnya yang muncul sejauh ini hanya berasal dari satu kelompok pemberontak Muslim, yang menandatangani perjanjian perdamaian tahun 2014 dengan pemerintah. Abu Sayyaf, yang terhubung dengan klan dominan di Sulu dan terkenal karena sering menculik turis-turis asing, tidak disertakan dalam hal ini.
Casiple mengatakan, klan setempat yang dominan di sana menentang keras digabungkannya Sulu di kawasan baru tersebut.
Serangan bom dan perebutan kekuasaan yang mendasarinya memperpanjang lebih dari 50 tahun kekerasan oleh pemberontak Muslim di pulau Mindanau, Filipina Selatan, dan Laut Sulu di dekatnya. Sekitar 121 ribu orang telah tewas, dan ISIS telah mendukung kelompok Abu Sayyaf sejak tahun 2016. [uh]