Tautan-tautan Akses

Seniman Perempuan Usung Perdamaian di Somalia Melalui Lukisan


Seniman Somalia Sana Ashraf Sharif Muhsin, 21, mengerjakan salah satu lukisannya di rumahnya di ibu kota Mogadishu, Somalia, Jumat, 15 Oktober 2021. (Foto: AP/Farah Abdi Warsameh)
Seniman Somalia Sana Ashraf Sharif Muhsin, 21, mengerjakan salah satu lukisannya di rumahnya di ibu kota Mogadishu, Somalia, Jumat, 15 Oktober 2021. (Foto: AP/Farah Abdi Warsameh)

Seni tidak dipraktikkan di Somalia yang cenderung konservatif. Somalia telah diamuk konflik selama beberapa dekade. Di negara di mana perempuan masih terpinggirkan dalam banyak aspek kehidupan sehari-hari, pelukis perempuan berusia 21 tahun, Sana Ashraf Sharif Muhsin mencoba membuat perubahan.

Pelukis perempuan berusia 21 tahun, Sana Ashraf Sharif Muhsin, tinggal di kota Mogadishu, Somalia.

Ia ingin membantu negaranya yang diamuk perang saudara selama puluhan tahun pulih melalui lukisan-lukisannya.

Kesenian, di banyak negara yang dilanda peperangan, dianggap sebagai bentuk penentangan oleh rezim diktator yang sarat kekerasan.

Jarang ada seniman di Somalia. Profesi yang sempat dianggap tabu itu beruntung masih bertahan melalui berbagai konflik dan ekstremisme.

Kegelisahan selama bertahun-tahun terpupuk akibat serangan demi serangan dahsyat kelompok ekstremis al-Shabab yang terafiliasi dengan al-Qaida di negeri itu.

Seniman Somalia Sana Ashraf Sharif Muhsin, 21, mengerjakan salah satu lukisannya di rumahnya di ibu kota Mogadishu, Somalia, Jumat, 15 Oktober 2021. (Foto: AP/Farah Abdi Warsameh)
Seniman Somalia Sana Ashraf Sharif Muhsin, 21, mengerjakan salah satu lukisannya di rumahnya di ibu kota Mogadishu, Somalia, Jumat, 15 Oktober 2021. (Foto: AP/Farah Abdi Warsameh)

Sana Ashraf Sharuf Muhsin telah menghadapi lebih banyak rintangan dibanding masyarakat Somalia pada umumnya.

Ia tinggal dan bekerja di tengah puing-puing bangunan milik pamannya yang sebagiannya hancur dalam perang.

“Sebagai perempuan Somalia dan seorang seniman, saya mencintai negara saya. Karena kita telah melalui 30 tahun yang penuh kehancuran, di mana banyak orang menyaksikan hal-hal buruk, dengan benak yang berlumuran darah akibat kehancuran dan berbagai ledakan, saya percaya saya bisa mengubah itu semua lewat karya seni yang saya buat, agar orang-orang bisa melihat keindahan dan membangun moralitas mereka," kata Sana.

Terlepas dari berbagai tantangan yang muncul, termasuk keyakinan sebagian Muslim bahwa Islam melarang segala bentuk karya seni yang menyerupai manusia, serta perjuangan untuk memperoleh peralatan dan bahan-bahan untuk melukis, Sana optimisitis.

Sana, yang seorang mahasiswi teknik sipil, mulai suka menggambar pada usia 8 tahun, mengikuti jejak sang paman, Abdikarim Osman Addow, seorang seniman terkenal.

Pada mulanya, ia menggambar dengan arang di tembok rumahnya. Kemudian, ia mulai melukis berbagai barang yang ada di rumah, seperti sepatu atau jeriken air, di buku gambar.

Namun, seiring karya-karyanya semakin dikenal masyarakat dari tahun ke tahun, ia juga merasakan tekanan yang semakin besar.

“Saya kadang merasa takut,” ujarnya, sambil mengingat sebuah konfrontasi yang terjadi di sebuah pameran baru-baru ini di City University of Mogadishu.

Seorang mahasiswa berteriak “Ini tidak benar!”, para dosen pun mencoba menenangkannya dan memberi pemahaman bahwa kesenian itu bagian penting dari dunia.

“Lukisan kami berbicara, tapi banyak orang yang tidak mengerti seni, apa maksudnya, nilainya, kegunaannya. Bahkan beberapa orang menganggapnya menjijikan.”

Seniman Somalia Sana Ashraf Sharif Muhsin, 21, mengerjakan salah satu lukisannya di rumahnya di ibu kota Mogadishu, Somalia, Jumat, 15 Oktober 2021. (Foto: AP/Farah Abdi Warsameh)
Seniman Somalia Sana Ashraf Sharif Muhsin, 21, mengerjakan salah satu lukisannya di rumahnya di ibu kota Mogadishu, Somalia, Jumat, 15 Oktober 2021. (Foto: AP/Farah Abdi Warsameh)

Dalam pameran, Sana selalu mencoba memberikan pemahaman kepada orang-orang bahwa seni itu bermanfaat dan bisa menjadi “senjata yang dapat digunakan untuk banyak hal.”

Salah seorang gurunya pernah memberikan tantangan, di mana ia akan menerima pertanyaan yang jawabannya harus diberikan dalam bentuk gambar.

Beberapa karyanya mengangkat isu-isu sosial yang relevan dengan kondisi Somalia, termasuk lukisan seorang tentara yang memandangi puing-puing gedung parlemen pertama negaranya.

Lukisan itu mencerminkan bentrokan politik antara pemerintah federal dengan pihak oposisi karena penundaan pemilu, katanya.

Lukisan lainnya mencerminkan kekejaman terhadap para perempuan muda yang rentan, “yang bahkan tak bisa mereka ungkapkan,” ujar Sana.

Lukisan ketiga memperlihatkan sosok perempuan yang mengenakan gaun dengan bahu terbuka yang populer di Somalia beberapa dekade lalu sebelum interpretasi Islam yang lebih ketat diberlakukan dan para perempuan didorong untuk mengenakan jilbab.

Akan tetapi, Sana juga berusaha menampilkan keindahan melalui lukisan-lukisannya.

“Jika Anda meng-Google Somalia, tidak ada foto-foto yang memperlihatkan keindahan di sana, hanya foto-foto yang memperlihatkan keburukan. Itu sebabnya saya ingin mengubah itu semua dengan lukisan-lukisan saya.”

Sosok Sana menonjol karena upayanya untuk mendobrak batasan gender untuk memasuki profesi yang didominasi oleh laki-laki, menurut Abdi Mohamed Shu’ayb, profesor seni di Universitas Nasional Somalia.

“Karya seni dapat digunakan baik sebagai senjata maupun secara positif. Karya seni dan lukisan dapat membangun negara seutuhnya, sekaligus menghancurkannya, tergantung sang pelukis.”

Sana mengatakan, ia berharap semakin percaya diri dengan karya-karyanya dengan menggelar pameran secara lebih luas, tidak hanya di Somalia dan Kenya.

Tapi menemukan pelukis panutan di negaranya bukan perkara gampang.

Ia menyebut sejumlah nama seniman Somalia yang ia kagumi, tapi ia tahu tidak ada seniman perempuan lain seperti dirinya. [rd]

XS
SM
MD
LG