Sebagai siswa yang lulus dari jurusan komputer dua tahun lalu, Mohammed Qudih awalnya takut tidak menemukan pekerjaan di Jalur Gaza, teritori yang porak poranda akibat perang di mana hampir separuh penduduknya tidak bekerja.
Sekarang, insinyur berusia 25 tahun tersebut bisa berbicara dengan bangga tentang perusahaan miliknya, dengan 25 karyawan tetap dan biaya sebesar $40,000 yang ia keluarkan untuk mendesain kantor dan furniturnya.
Perusahaan tersebut, yang diberi nama Haweya for Information Technology, mempunyai spesialisasi dalam branding bisnis baru atau bisnis yang mengalami restrukturisasi. Dalam bahasa Arab nama itu berarti “identitas.”
“Saya terkejut dengan keadaan kerja yang menyedihkan di Gaza; tidak ada pekerjaan dan sulit mendapatkan pekerjaan, sangat sulit. Ide saya datang dari situ,' kata Qudih, yang duduk di belakang laptop berwarna putih di meja kayunya yang berwarna gelap.
Ini adalah kisah sukses yang langka di Gaza, yang ekonominya terpukul oleh blokade Israel dan Mesir dan perang 50 hari antara Israel dan penguasa teritori Hamas tahun lalu. Israel menganggap Hamas sebagai kelompok teroris, sebuah kelompok militan Islam yang ingin menghancurkan Israel.
Qudih mengatakan ia sudah memiliki ide untuk perusahaannya sejak masuk universitas pada tahun 2009. Lima tahun kemudian, Haweya melihat kesempatan saat menerima bantuan dari proyek Mobaderoon. Program tersebut, yang artinya “entrepreneur” atau pengusaha dalam bahasa Arab, dikelola oleh Asosiasi Kesejahteraan Palestina, sebuah badan pengembangan, dengan dana dari Dana Arab untuk Pengembangan Ekonomi dan Sosial yang berbasis di Kuwait.
Kini ada empat inkubator dan akselerator bisnis di Gaza, yang memberikan bimbingan dan bantuan keuangan kepada calon pengusaha teknologi tinggi. Salah satunya dikelola oleh badan amal AS Mercy Corps.
“Kita bisa bilang ini tren,” kata Yousef Elhallaq dari Mobaderoon. “Ini fenomena di Gaza dan minat pada bidang ini, sebagian didorong oleh tingkat pengangguran.”
Haweya adalah salah satu dari belasan startup yang mampu bertahan walaupun ada konflik, blokade dan infrastruktur Gaza yang rusak. Paling bagus, mereka bisa menggunakan listrik delapan jam sehari. Blokade Israel-Mesir membatasi pergerakan orang-orang masuk dan keluar Gaza, dan kawasan tersebut masih belum pulih dari kerusakan perang tahun lalu.
Blokade tersebut adalah pemacu para pengusaha, yang terpaksa berinovasi untuk mengatasi tantangan unik yang mereka hadapi. Banyak startup di Gaza saat ini sedang mengembangkan alternatif lokal untuk barang-barang mahal seperti printer 3-D dan stabilizer untuk kamera video.
Pada bulan Mei, Bank Dunia menetapkan tingkat pengangguran di Gaza di angka 43 persen dan memperingatkan ekonomi kawasan tersebut "berada di ujung tanduk" akibat perang, blokade dan pemerintahan yang buruk.
Hamas menguasai Gaza sejak berhasil mengusir pasukan yang setia pada Otorita Palestina yang didukung Barat pada 2007. Upaya-upaya rekonsiliasi gagal berkali-kali dan Gaza kini harus menanggung dua birokrasi besar yang kekurangan dan setia pada faksi-faksi saingannya. Hamas yang dikucilkan oleh dunia internasional berjuang untuk membayar staf mereka, dan tidak merekrut siapapun di sektor publik selama dua tahun terakhir.
Program Mobaderoon telah menyediakan sekitar 100 pekerjaan sejauh ini, angka yang kecil untuk kawasan berpenduduk 1,8 juta orang. Tapi angka itu adalah prestasi penting, terutama bila mengingat gejolak di sektor publik.
Pada bulan November, para pengusaha muda berkumpul di sebuah balai yang dikelola oleh Inkubator Teknologi dan Bisnis Universitas Islam, untuk terpilih sebagai salah satu dari 20 startup yang diterima untuk mengikuti tahap ketiga program Mobaderoon.
Setiap startup yang berhasil berhak menerima uang kontan sebesar $10,000, mesin-mesin peralatan, konsultasi dan bantuan, kata Elhallaq, supervisor mereka.
Pada salah satu proyek yang tidak menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, Dalia Abu Tahoun dan koleganya menawarkan keju bagi para pengunjung. Ide mereka adalah memperkuat keju lembut secara alami dengan kalsium dan fitoestrogen agar gizi murah tersedia untuk perempuan dan anak-anak perempuan yang menderita tulang rapuh.
Di meja lain, Ahmed al-Shuraffa, 22, memamerkan sebuah proyek yang memungkinkan pengguna smartphone ikut tur 3-D kompleks Masjid Al-Aqsa Yerusalem. Masjid tersebut, yang merupakan situs tersuci ketiga bagi Islam, adalah simbol keagamaan dan nasional Palestina yang utama.
Al-Shuraffa, seperti warga Gaza lain yang seusianya, belum pernah ke Yerusalem dan ia menganggap hal itu sebagai kesulitan terbesar bagi proyeknya. Ia mengandalkan gambar-gambar dan data-data yang diberikan oleh teman-temannya.
“Mengerjakan proyek dan mengingat secara virtual tempat yang belum pernah kamu kunjungi sebelumnya adalah masalah besar," katanya.
Haweya juga menyediakan event management atau manajemen acara selain desain web, arsitektur, dan interior kepada klien lokal dan internasional, banyak di antaranya di negara-negara Teluk Arab. Mereka merancang dari jauh logo dan panggung untuk Forum Internasional Aksi Kemanusiaan ketiga, yang akan berlangsung di Qatar pada bulan Mei.
Blokade kawasan tersebut membuat mereka tidak bisa mendapatkan lebih banyak kerjasama, dan Qudih berdoa agar perbatasan dibuka agar bisnis bisa meningkat. Namun, ia puas dengan apa yang sudah ia lakukan sejauh ini.
“Perasaan yang indah kalau bisa mencapai suatu hasil, saat ide menjadi kenyataan dan mimpi jadi kenyataan di tengah-tengah keadaan Gaza yang dalam kesulitan," ujarnya. [dw]